Download Majalah Farmasetika
vaksin palsu
Pandangan Apoteker Terkait Vaksin Palsu, Salah Siapa? (pic : liputan6.com)

Pandangan Apoteker Terkait Vaksin Palsu, Salah Siapa?

Praktik kefarmasian dilakukan oleh tenaga kefarmasian

Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dipenjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan itu adalah tenaga kefarmasian. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (asisten apoteker). Tenaga kefarmasianlah yang diberi kewenangan oleh regulasi dalam hal produksi, distribusi dan pengadaan obat dan vaksin.

Apoteker berperan penting dalam produksi dan distribusi obat dan vaksin

Berdasarkan pengalaman sebagai apoteker ketika mengunjungi fasilitas pabrik obat dan vaksin, maka akan ditemukan banyak sekali aspek-aspek CPOB yang sangat ketat, dilakukan oleh tenaga-tenaga yang kompeten dan diawasi oleh Badan POM. Hal ini dilakukan untuk memastikan kualitas (quality assurance) produk obat dan vaksin yang dibuat. Penanggungjawab quality assurance dipabrik obat haruslah seorang apoteker. Hal ini selain  sesuai dengan regulasi yang ada, juga dikarenakan bahwa apotekerlah yang berkompeten dalam hal tersebut. [Baca : Gambaran Singkat Proses Pengemasan Vaksin di GlaxoSmithKline]

Seorang apoteker dididik dan dilatih untuk memastikan bahwa produk obat dan vaksin yang dibuat harus aman dan berkualitas. Karena produk-produk tersebut langsung dimasukkan kedalam tubuh manusia untuk kepentingan pengobatan. Jika tidak dilakukan oleh tenaga yang tidak berkompeten, maka obat dan vaksin tidak akan aman dan berkualitas dan dapat mengancam keselamatan jiwa orang yang menggunakannya.

Pada fase distribusi obat dan vaksin juga harus diisi seorang apoteker sebagai penanggungjawab. Ketika sebuah produk obat dan vaksin diproduksi dengan aspek CPOB yang ketat, maka perlakuan yang sama harus diterapkan ketika obat dan vaksin melewati fase distribusi yaitu dengan menerapkan aspek CDOB yang ketat. Maka distributor resmi yang boleh mengedarkan vaksin ini harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat.

Baca :  Ribuan Apoteker Rayakan Hari Jadi IAI Ke-66, Ini Harapannya

Fasilitas distribusi dan penyimpanan yang dimiliki harus terlebih dahulu diperiksa oleh Kesehatan Kesehatan dan Badan POM sebelum mereka mendapatkan izin pendistribusian. Dan untuk memastikan aspek ini terpenuhi adalah seorang apoteker yang diberi kewengan untuk itu. Maka tepatlah peran apoteker sebagai penanggungjawab sebuah distributor obat.

Menjadi benarlah apa yang diungkap oleh Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nurul Falah Eddy Pariang dalam tayangan diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) tersebut. Bahwa jikalau dari aspek produksi, distribusi dan pengadaan obat dan vaksin di sarana-sarana kesehatan dilakukan oleh apoteker, maka tidak akan ditemukan obat dan vaksin palsu.

Asumsi penyebab adanya vaksin palsu

Mengapa ditemukannya kasus vaksin palsu ini? Karena pengelolaannya tidak dilakukan oleh apoteker. Ditambah lagi dengan adanya oknum tenaga kesehatan yang tergiur dengan keuntungan dari penjualan dan penggunaan vaksin ilegal. Terlebih oknum-oknum tenaga kesehatan itu tidak percaya dengan vaksin produksi PT. Biofarma yang merupakan satu-satunya produsen vaksin milik pemerintah. Padahal kebutuhan vaksin untuk program imunisasi pemerintah telah dijamin cukup tersedia oleh pemerintah dengan didukung oleh PT. Biofarma. [Baca : 8 Poin Penjelasan Bio Farma Terkait Peredaran Vaksin Palsu]

Perencanaan kebutuhan vaksin imunisasi secara nasional telah disusun secara detail dan akurat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi se Indonesia dan juga Kementerian Kesehatan RI. Bahkan data cakupan imunisasi nasional dari Kementerian Kesehatan RI untuk seluruh balita yang ada telah mencapai angka 93 persen. Porsi terbesar dari cakupan imunisasi ini ada pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Bagaimana dengan fasilitas pelayanan kesehatan swasta? Inilah yang menjadi titik lemah dan temuan vaksin palsu yang diungkap oleh pihak kepolisian.

Baca :  Konseling Obat : Pelayanan dari Apoteker untuk Masyarakat

Dampak ditemukannya vaksin palsu

Banyak sekali hikmah yang bisa kita dapatkan dari kasus vaksin palsu ini. Semua vaksin palsu yang ditemukan oleh Bareskrim Mabes Polri adalah vaksin dengan merk dan produksi luar negeri. Kalau saja para orang tua mengimunisasi bayi dan anak-anaknya pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah seperti puskesmas dan rumah sakit umum daerah, maka tidak akan ada cerita vaksin palsu. Dan ini terbukti dari pernyataan pihak kepolisian bahwa vaksin palsu hanya ada pada fasilitas pelayanan kesehatan milik swasta.

Momentum ini harus menyadarkan masyarakat bahwa merk dan produksi vaksin luar negeri tidaklah menjamin keamanan dan mutunya. Bagi para tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan haruslah berbenah dan menata diri untuk lebih percaya pada produksi dalam negeri yang sudah berkala internasional seperti PT. Biofarma.

Mudah-mudahan tidak ada lagi cerita vaksin palsu, obat palsu dan produk-produk kesehatan palsu yang lainnya. Sehingga kita sebagai bangsa dapat mencapai cita-cita Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28H ayat 1, yaitu setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Artikel Majalah Farmasetika ini termasuk kedalam artikel edisi khusus yang telah diterbitkan di http://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika

Share this:

About Decky Ferdiansyah

Decky Ferdiansyah, S.Si, Apt. Seorang praktisi dan pemerhati kesehatan yang bekerja sebagai PNS di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung. Lulus sebagai Apoteker pada Tahun 2004 dari Universitas Padjadjaran Bandung. Tercatat sebagai anggota Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Provinsi Lampung. Menyukai aktivitas membaca dan menulis. Saat ini sedang menempuh Program Pascasarjana Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung

Check Also

Pendefinisian Nomenklatur Pelayanan Kefarmasian dalam Regulasi Turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Majalah Farmasetika – Pelayanan Kefarmasian merupakan nomenklatur baru dalam definisi Praktik Kefarmasian pada pasal 145 …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.