Download Majalah Farmasetika
regulasi

Dilema Penerapan Permenkes No. 31 Tahun 2016 di Dunia Kefarmasian

Majalah Farmasetika (V1N8-Oktober 2016). Salah satu topik diskusi yang masih hangat dibincangkan dikalangan tenaga kefarmasian, khususnya apoteker saat ini adalah tentang terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes/PMK RI) No. 31 Tahun 2016.

Perubahan “tradisi” apoteker di Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 menjadi perbincangan hangat di kalangan apoteker?

Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 merupakan perubahan atas Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Ketentuan dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 yang diubah oleh Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 hanya Pasal 17, 18 dan 19.

[Baca : Permenkes No. 31 Th 2016 Terkait Perubahan Registrasi, Izin Praktik dan Kerja Tenaga Kefarmasian]

Berubahnya ketentuan dalam tiga pasal tersebut menimbulkan diskusi yang beragam. Perubahan peraturan ini menjadi perbincangan yang hangat dibincangkan karena ada beberapa hal baru dan mengubah “tradisi” yang selama ini sudah ada dikalangan apoteker.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tradisi baru ini mampu menjawab tantangan profesionalisme apoteker? Mengingat apoteker merupakan salah satu bagian dari tenaga kesehatan yang memegang peranan penting karena terkait langsung dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Menelaah definisi apoteker sebenarnya

Sebelum menelaah tentang substansi perubahan tersebut, ada baiknya kita memahami kembali definisi dari apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 (PP 51) Tahun 2009, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan sebagai apoteker. Hanya apoteker yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan.

Dua hal ini yang membedakan antara apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (TTK), yaitu keahlian dan kewenangan. Keahlian bisa didapat dari pendidikan formal, pelatihan ataupun pengalaman bekerja di sarana kefarmasian.

Pada suatu kondisi, dapat saja terjadi ada seorang tenaga teknis kefarmasian memiliki keahlian dalam melakukan dispensing (peracikan) obat di satu apotek melebihi keahlian apotekernya, namun yang membedakan adalah kewenangannya didapat dalam bimbingan dan pengawasan seorang apoteker. Sehingga kewenangan apoteker bersifat mandatory (amanat) yang diberikan aturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan tenaga teknis kefarmasian bersifat delegasi dan bimbingan dari apoteker.

Apa hal-hal yang berubah di Permenkes RI No. 889 Tahun 2011?

Hal-hal yang berubah dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 diantaranya adalah nomenklatur surat izin kerja yang harus dimaknai sebagai surat izin praktik. Definisi surat izin kerja dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 adalah surat izin yang diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi. Sehingga dengan terbitnya Permenkes RI No. 31 Tahun 2016, surat izin untuk apoteker diseragamkan menjadi surat izin praktik apoteker (SIPA), baik bagi apoteker yang bekerja di fasilitas produksi, distribusi maupun pelayanan.

Hal yang juga menjadi ramai dibicarakan adalah perubahan ketentuan dalam Pasal 18 Permenkes RI No. 889 Tahun 2011. Beberapa poin yang tercantum adalah tentang pengecualian jumlah SIPA yang boleh dimiliki oleh seorang apoteker di sarana pelayanan kefarmasian yaitu maksimal 3 (tiga) sarana. Tradisi satu apoteker satu sarana pelayanan yang selama ini sudah ada, menjadi dibolehkan satu apoteker lebih dari satu sarana pelayanan.

Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 seolah melemahkan kembali program TATAP

Dalam perbincangan dengan beberapa pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), keluarnya peraturan ini seolah melemahkan kembali kampanye IAI no pharmacist no services atau Tiada Apoteker Tiada Pelayanan (TATAP).

Baca :  Apoteker di Jawa Barat Sukses Pecahkan Rekor MURI di Hari Kesehatan Nasional 2017

[Baca : Inilah Tujuan Apoteker bisa Praktek di 3 Tempat Layanan Kefarmasian]

Konsep TATAP memang mewajibkan kehadiran apoteker ketika sarana pelayanan kefarmasiannya buka. Padahal kehadiran apoteker merupakan kata kunci dalam peningkatan profesionalisme apoteker yang tujuan akhirnya adalah peningkatan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care).

Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien. Sebagai paradigma baru yang mengubah drug oriented menjadi patient oriented, seorang apoteker diharapkan lebih berorientasi pada kualitas hidup pasien.

Seorang pasien yang datang dengan membawa resep pada satu sarana pelayanan kefarmasian, bukanlah semata-mata untuk mendapat komiditi obat, akan tetapi juga diharapkan mendapat “jasa” kefarmasian dari seorang apoteker. Jasa ini dapat berupa konsultasi cara menggunakan obat, cara menyimpan, memilih obat yang lebih murah dengan komponen aktif yang sama dan konsultasi lainnya. Pemberian jasa ini adalah salah satu contoh dari paradigma patient oriented.

Bila pelayanan jasa kefarmasian ini rutin dilakukan oleh seorang apoteker, maka lambat laun masyarakat akan dapat merasakan dampak langsung dari kehadiran seorang apoteker. Bahasa anak muda : ga ada loe ga rame.

Dampak apoteker bisa di tiga sarana pelayanan kefarmasian

Dengan diperbolehkannya seorang apoteker untuk bekerja di dua atau tiga sarana pelayanan kefarmasian, maka semakin sulit rasanya untuk mengharapkan kehadiran apoteker ketika sarana pelayanannya buka. Sudah lazim terjadi apotek buka tanpa ada kehadiran apoteker. Pelayanan kefarmasian yang ada di apotek lebih banyak dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian ataupun tenaga lainnya. Kondisi ini mau tidak mau akan mengecilkan peran dan fungsi apoteker.

Selain persoalan kehadiran apoteker, fenomena yang banyak terjadi di lapangan adalah terjadi ketimpangan antara jumlah apoteker dengan kebutuhan akan sarana pelayanan kefarmasian di suatu tempat. Sarana pelayanan kefarmasian yang mencakup apotek, klinik, puskesmas, rumah sakit, praktek dokter bersama menuntut adanya seorang apoteker.

Ketimpangan ini terjadi dikarenakan ketersediaan dan pemerataan apoteker yang belum maksimal. Dengan terbitnya aturan yang membolehkan seorang apoteker bekerja di lebih dari satu sarana pelayanan kefarmasian, setidaknya akan menjawab persoalan ketimpangan antara jumlah apoteker dengan kebutuhan sarana pelayanan kefarmasian. Untuk daerah-daerah tertentu yang minim jumlah apotekernya, Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 menjadi solusi yang efektif.

Peran IAI dalam menyikapi Permenkes No. 31 Tahun 2016

Disisi lain, IAI sebagai satu-satunya organisasi profesi apoteker yang diakui pemerintah mempunyai peran yang tak kalah pentingnya dalam mengendalikan penerapan Permenkes No. 31 Tahun 2016 ini. Dalam PP No. 51 Tahun 2009, IAI memiliki kewenangan dalam membina dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan kefarmasian yang dilakukan apoteker. Kewenangan ini tentunya dapat diterapkan dengan koordinasi yang baik dengan pemerintah. Jangan sampai ada tumpang tindih kewenangan.

Ranah IAI sebagai organisasi profesi adalah pada pembinaan dalam pelaksanaan kode etik apoteker. Kode etik ini merupakan rambu-rambu bagi seorang apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Pada titik ini, IAI memegang kendali terhadap keluarnya rekomendasi yang akan diberikan kepada seorang apoteker untuk berpraktek.

Bahkan pada pemberian rekomendasi untuk tempat praktek kedua dan ketiga, IAI mensyaratkan adanya pencantuman jam praktek apoteker di tempat praktek masing-masing. Adanya pencantuman jam praktek ini diharapkan akan meningkatkan kehadiran seorang apoteker di sarana pelayanan kefarmasiannya.

Baca :  Pembohongan Publik Obat Sirup, BPOM Resmi Digugat KKI ke PTUN

Peningkatan kehadiran tentu akan menghasilkan asuhan kefarmasian yang lebih baik bagi masyarakat. Ini juga yang membuat IAI mengkampanyekan konsep praktek apoteker yang bermartabat. Jadi pada satu sisi, Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 dapat menjawab solusi kelangkaan apoteker dan disisi lain menjadi tantangan bagi IAI dalam menerapkan konsep praktek apoteker yang bermartabat.

Tindakan Badan POM dalam menyikapi Permenkes No. 31 Tahun 2016

Dari sebuah grup whatsapp, beredar salinan Surat Instruksi Kepala Badan POM Penny K. Lukito yang meminta seluruh pegawai Badan POM untuk menghindari “benturan kepentingan”. Salah satu bentuknya adalah dengan meminta seluruh pegawai negeri sipil di Badan POM agar tidak bekerja di sarana produksi, sarana distribusi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi obyek pengawasan Badan POM.

[Baca : Pegawai BPOM Merangkap Apoteker di Apotek Rakyat]

Bagi apoteker yang bekerja di Badan POM, surat instruksi ini menjadi hal yang tidak menyenangkan. Bagaimana tidak, income bulanan berupa jasa profesi apoteker di sarana-sarana tersebut akan terhenti. Sekalipun disebutkan dalam surat tersebut bahwa ada peningkatan tunjangan kinerja (remunerasi), tapi dengan melepas pekerjaan di luar kedinasan tersebut akan menjadi kenyataan yang sulit untuk diterima. Bertolak belakang dengan kenyataan tersebut, bagi apoteker di luar Badan POM, tentu ini menjadi peluang tersendiri.

Terlepas pendapat pro dan kontra, kita patut mengapresiasi instruksi Kepala Badan POM tersebut. Dalam pandangan Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik), maka akan sulit untuk mewujudkan kelembagaan Badan POM yang profesional manakala ada benturan kepentingan yang dialami personilnya. Tentu akan menjadi tugas baru bagi Badan POM untuk meningkatkan kinerjanya sehingga akan menjadi salah satu syarat bagi kenaikan tunjangan kinerja (remunerasi).

Remunerasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Remunerasi merupakan jumlah kompensasi secara keseluruhan yang diterima oleh pegawai atas hasil kerja (kinerja) yang telah dikerjakannya. Karena remunerasi itu berbasis kinerja, maka pegawai Badan POM dituntut untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Peningkatan kinerja tentu saja berimbas pada peningkatan tunjangan kinerja.

Kesimpulan

Terbitnya Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 dan surat instruksi Kepala Badan POM dalam waktu yang berdekatan seolah menjadi sinyal akan adanya peningkatan mutu layanan kefarmasian oleh apoteker di fasilitas kefarmasian.

Pada akhirnya, suka atau tidak suka kedua ketentuan di atas telah berlaku. Sebaiknya jangan lagi ada pihak yang mempertanyakan urgensi dari keluarnya ketentuan tersebut. Sekarang adalah saatnya bagi apoteker untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian secara lebih profesional dan lebih bermartabat.

Daftar Pustaka :

• Republik Indonesia, 2009 Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta : Sekretariat Negara
• Republik Indonesia, 2011 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Jakarta : Kementerian Kesehatan
• Republik Indonesia, 2016 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Perubahan atas Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Jakarta : Kementerian Kesehatan
• Republik Indonesia, 2011 Instruksi Kepala Badan POM tentang Larangan bagi Seluruh PNS Badan POM Bekerja di Sarana Produksi, Sarana Distribusi dan/atau Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Jakarta : Badan POM
• Ikatan Apoteker Indonesia, 2015 Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta

Artikel Majalah Farmasetika ini termasuk kedalam artikel edisi khusus yang akan diterbitkan di edisi berikutnya di http://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika

Share this:

About Decky Ferdiansyah

Decky Ferdiansyah, S.Si, Apt. Seorang praktisi dan pemerhati kesehatan yang bekerja sebagai PNS di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung. Lulus sebagai Apoteker pada Tahun 2004 dari Universitas Padjadjaran Bandung. Tercatat sebagai anggota Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Provinsi Lampung. Menyukai aktivitas membaca dan menulis. Saat ini sedang menempuh Program Pascasarjana Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung

Check Also

Pendefinisian Nomenklatur Pelayanan Kefarmasian dalam Regulasi Turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Majalah Farmasetika – Pelayanan Kefarmasian merupakan nomenklatur baru dalam definisi Praktik Kefarmasian pada pasal 145 …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.