farmasetika.com – Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes/PMK) Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1473) dinyatakan dicabut dan tidak berlaku pada tanggal 31 Januari 2019 seiring diberlakukannya Permenkes No. 4 Tahun 2019 tentang STANDAR TEKNIS PEMENUHAN MUTU PELAYANAN DASAR PADA STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN.
Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan yang selanjutnya disebut SPM Kesehatan merupakan ketentuan mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal.
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib menerapkan Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan.
Hal yang baru di PMK No. 4 Tahun 2019 adalah
1. JENIS LAYANAN DAN MUTU :
– 2 Jenis Layanan dan Mutu Provinsi
- a. pelayanan kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau berpotensi bencana provinsi; dan
- b. pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi kejadian luar biasa provinsi.
– 12 Jenis Layanan dan Mutu Kab/Kota
- a. Pelayanan kesehatan ibu hamil;
- b. Pelayanan kesehatan ibu bersalin;
- c. Pelayanan kesehatan bayi baru lahir;
- d. Pelayanan kesehatan balita;
- e. Pelayanan kesehatan pada usia pendidikan dasar;
- f. Pelayanan kesehatan pada usia produktif;
- g. Pelayanan kesehatan pada usia lanjut;
- h. Pelayanan kesehatan penderita hipertensi;
- i. Pelayanan kesehatan penderita diabetes melitus;
- j. Pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat;
- k. Pelayanan kesehatan orang terduga tuberkulosis; dan
- l. Pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan daya tahan tubuh manusia (Human Immunodeficiency Virus).
2. MUATAN MATERI
– Petunjuk Teknis
– Standar SDM
– Standar Barang Jasa
Latar Belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Seseorang tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya jika berada dalam kondisi tidak sehat. Sehingga kesehatan merupakan modal setiap individu untuk meneruskan kehidupannya secara layak.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan. Sebagai suatu kebutuhan dasar, setiap individu bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan orangorang yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga pada dasarnya pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan adalah tanggung jawab setiap warganegara.
Meskipun upaya untuk memenuhi kebutuhan bidang kesehatan melekat pada setiap warga negara, namun mengingat karakteristik barang/jasa kesehatan tidak dapat diusahakan/diproduksi sendiri secara langsung oleh masing-masing warga negara, melainkan harus ada pihak lain yang secara khusus memproduksi dan menyediakan, maka penyediaan barang/jasa bidang kesehatan mutlak memerlukan keterlibatan pemerintah untuk:
1. Menjamin ketersediaan barang/jasa kesehatan yang dapat diperoleh warga negara yang memerlukan sesuai dengan kebutuhan; dan
2. Menyediakan barang/jasa kesehatan bagi warga negara yang tidak mampu memenuhi kebutuhan di bidang kesehatan.
Mengingat kebutuhan warga negara terhadap barang/jasa kesehatan sangat vital dan dengan karakteristik barang/jasa kesehatan yang unik dan kompleks, maka peranan pemerintah di bidang kesehatan harus distandarisasi, agar warga negara dapat memenuhi kebutuhan di bidang kesehatan.
Sejak era reformasi urusan pemerintahan secara bertahap diserahkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan hal ini sesuai dengan pasal 18 ayat (6) amandemen UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya.
Peraturan terakhir yang mengatur tentang pembagian urusan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 yang merupakan pengganti UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Pada Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu dari enam urusan concurrent (bersama) yang bersifat wajib dan terkait dengan pelayanan dasar adalah urusan kesehatan.
Karena kondisi kemampuan sumber daya Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia tidak sama dalam melaksanakan ke enam urusan tersebut, maka pelaksanaan urusan tersebut diatur dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk memastikan ketersediaan layanan tersebut bagi seluruh warga negara.
SPM sekurang-kurangnya mempunyai dua fungsi yaitu
(i) memfasilitasi Pemerintah Daerah untuk melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat dan
(ii) sebagai instrumen bagi masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah dalam pelayanan publik bidang kesehatan.
Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar minimal yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara. Kebijakan mengenai SPM mengalami perubahan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan kebijakan ini SPM Bidang Kesehatan mengalami perubahan yang cukup mendasar dari SPM sebelumnya sebagaimana ditetapkan dengan Permenkes Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal. Pada SPM yang lalu pencapaian target-target SPM lebih merupakan kinerja program kesehatan, maka pada SPM yang sekarang pencapaian target-target tersebut lebih diarahkan kepada kinerja Pemerintah Daerah, menjadi penilaian kinerja daerah dalam memberikan pelayanan dasar kepada Warga Negara.
Selanjutnya sebagai bahan Pemerintah Pusat dalam perumusan kebijakan nasional, pemberian insentif, disinsentif dan sanksi administrasi Kepala Daerah. Dalam rangka penerapan SPM Bidang Kesehatan disusun Standar Teknis Penerapan SPM yang menjelaskan langkah operasional pencapaian SPM Bidang Kesehatan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai acuan bagi pemerintah daerah dengan memperhatikan potensi dan kemampuan daerah.
SPM juga akan berfungsi sebagai instrumen untuk memperkuat pelaksanaan Performance Based Budgeting. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga mengamanatkan pada Pemerintah Daerah untuk benarbenar memprioritaskan belanja daerah untuk mendanai urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar yang ditetapkan dengan SPM (pasal 298).
Pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) ke daerah akan berdasar pada kebutuhan daerah untuk pencapaian target-target SPM. Daerah dengan kemampuan sumber daya yang kurang akan menjadi prioritas dalam pengalokasian DAK.
Hal-hal tersebut di atas membuat seluruh elemen akan bersatu padu berbenah untuk bersama-sama menuju pencapaian target-target SPM, termasuk di dalamnya adalah pemenuhan sumber daya manusia kesehatan terutama di level Puskesmas sesuai Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama akan menjadi unit terdepan dalam upaya pencapaian target-target SPM.
Implementasi SPM juga menjadi sangat strategis dalam kaitannya dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Implementasi SPM akan memperkuat sisi promotif–preventif sehingga diharapkan akan ber-impact pada penurunan jumlah kasus kuratif yang harus ditanggung oleh JKN. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah berisi arah kebijakan pembangunan daerah yaitu untuk menjamin sinergisitas program pembangunan nasional dan daerah, di mana penyusunan RKPD berdasarkan arah kebijakan pembangunan daerah dengan memperhatikan prioritas dan sasaran pembangunan nasional.
Arah kebijakan pembangunan daerah tersebut berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemeritahan Daerah bahwa terdapat 6 (enam) urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dalam rangka penerapan SPM Bidang Kesehatan diperlukan Standar Teknis SPM yang menjelaskan langkah operasional pencapaian SPM Bidang Kesehatan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai acuan bagi pemerintah daerah dengan memperhatikan potensi dan kemampuan daerah.
Penerapan SPM bidang kesehatan tidak dapat terpisah dengan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena sifat saling melengkapi dan sinergisme. Penekanan SPM bidang kesehatan berfokus pada pelayanan promotif dan preventif, sementara program JKN berfokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif. Sehingga pada penerapan SPM bidang kesehatan khususnya di kabupaten/kota ada kontribusi pembiayaan dan pelayanan program JKN.
Untuk hal tersebut, pada penerapannya tidak perlu mengalokasikan anggaran pada pelayanan-pelayanan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif yang dibiayai oleh JKN.
Pada perhitungan pembiayaan, pemerintah daerah melakukan pemetaan pembiayaan, karena terdapat sumber pembiayaan yang dapat digunakan dalam penerapan SPM, tetapi dalam pola perhitungan SPM perlu diperhatikan untuk tidak dobel counting pembiayaan, seperti yang telah dialokasikan JKN maka tidak perlu ada di kebutuhan SPM, contoh : biaya obat program, obat TB, vaksin yang dibiayai oleh pusat tidak perlu diperhitungkan, selain itu untuk mengintegrasikan kegiatan-kegiatan yang sama pada kegiatan SPM seperti pendataan, ATK, dll dalam satu penghitungan pembiayaan sehingga alokasi dapat efisien dan efektif.
Untuk mempermudah penghitungan pembiayaan daerah tersebut telah disiapkan tools costing SPM dalam bentuk sistem informasi yang tersedia. Sistem informasi ini digunakan untuk mempermudah daerah dalam perencanaan pelaksanaan SPM.
Selengkapnya :
Regulasi sebelumnya :
Penjelasan perubahan :