Farmasetika.com – Antibiotik merupakan senyawa yang dapat menekan proses biokimia dalam sel bakteri. Penggunaan antibiotik yang kurang tepat, seperti menggunakan antibiotik untuk mengobati infeksi virus atau menggunakannya pada kondisi yang tidak diperlukan. Tidak jarang juga ternyata antibiotik digunakan tanpa adanya resep langsung dari dokter. Kesalahan dalam penggunaan antibiotik itulah yang kini telah mengantarkan kita pada isu serius mengenai bakteri yang kebal terhadap antibiotik atau biasa disebut resistensi antibiotik.
Bagaimana Bakteri Dapat Resisten Terdahap Antibiotik?
Antibiotik tidak lagi dapat efektif membunuh bakteri karena bakteri menemukan mekanisme resistensi menggunakan DNA dalam selnya. Gen resisten tersebut ada di dalam plasmid, DNA ekstraseluler yang dapat diturunkan. Hal ini menunjukan bahwa bakteri dapat menurunkan sifat resistennya kepada bakteri lain. Oleh karena itu, penggunaanya yang kurang tepat dapat memperluas penyebaran bakteri resisten.
64% negara di Asia Tenggara memperbolehkan penggunaan antibiotik tanpa adanya resep dari dokter. Hal itu secara tidak langsung meningkatkan jumlah bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Perkembangan resistensi antibiotik ini lebih parah, khususnya di negara berkembang, yang diakibatkan oleh kurangnya air bersih serta sanitasi yang buruk.
Bahaya Resistensi Antibiotik
Data yang dikeluarkan WHO menunjukan bahwa terdapat setidaknya 2.049.442 kasus kesakitan karena resistensi antibiotik dan sebanyak 23.000 diantaranya meninggal dunia. Sudah jelas, bahwa resistensi bakteri ini dapat membuat antibiotik tidak lagi menjadi senjata ampuh untuk mengobati infeksi bakteri. Penyembuhan untuk infeksi bakteri yang resisten menjadi lebih sulit dan biaya yang dikeluarkan untuk mengobatinya pun jauh lebih besar. Data menunjukan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan infeksi bakteri resisten di Amerika Sekirat berkisar sekitar 20 miliar dollar. Sedangkan, kerugian akibat turunya produktifitas dapat mencapai 35 miliar dollar per tahunnya.
Bagaimana Regulasi Penggunaan Antibiotik di Indonesia?
Indonesia merupakan negara hukum. Sehingga, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pemerintahan harus sesuai dengan hukum yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Kementrian kesehatan telah membuat Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/PER/XII/2011 tentang pedoman umum untuk penggunaan antibiotik. Peraturan ini sebagai pedoman untuk memberikan acuan bagi tenaga kesehatan dalam menggunakan antibiotik pada pelayanan & fasilitas kesehatan serta penentuan arah kebijakan pemerintah sehinggapenggunaan antibiotic secara bijak dapat tercapai.
Sejak 12 November 2015 Menteri Kesehatan RI telah membuat program Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat) SK Menkes No. 47/2015. GeMa CerMat ini merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui rangkaian kegiatan berupa kepedulian, kesadaran, pemahaman, dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan obat supaya tepat.
Tenaga kesehatan yang diandalkan untuk mensukseskan program GeMa CerMat ini memiliki tugas untuk menjalankan kerja sosial yang efektif dan efisien. Salah satu caranya adalah dengan membatasi penjualan obat-obatan yang dijual secara bebas (tanpa resep dokter) salah satunya seperti antibiotik. Hal ini karena tingginya pembelian antibiotik tanpa resep dokter dapat memicu banyak kasus resistensi antibiotik. Padahal antibiotik dapat memicu ancaman cukup serius karena resistensi antibiotik dapat menyebabkan kematian.
Melalui GeMa CerMat ini pemerintah menyanangkan program penggunaan antibiotik bijak oleh masyarakat dengan istilah 5T yaitu :
- Tidak membeli antibiotik tanpa resep dokter
- Tidak menggunakan antibiotik untuk penyakit selain infeksi bakteri
- Tidak menyimpan antibiotik untuk waktu mendatang
- Tidak memberi antibiotik sisa pada orang lain
- Tanyakan pada apoteker informasi obat antibiotik
Regulasi seperti apa untuk mengendalikan resistensi antibiotik?
Pertama, memaksimalkan Antimicrobial Stewardship Program yaitu program pengarahan terpusat secara berkala kepada tenaga kesehatan dan masyarakat untuk mempelajari dan memahami segala hal mengenai resistensi antibiotik.
Kedua, memperbaiki system dalam pemberian resep antibiotik. Hal ini dilkukan oleh dokter spesialis infeksi kepada dokter-dokter lainnya agar tidak memberikan resep antibiotic jika kondisi pasien belum dipastikan terinfeksi suatu bakteri. Ahli farmasi klinik pun dapat mengawasi antibiotic yang diresepkan.
Ketiga, mencegah terjadinya infeksi bakteri. Sebenarnya, infeksi bakteri dapat dicegah dengan meningkatkan daya tahan tubuh yaitu dengan cara mengonsumsi makanan yang bergizi serta berolahraga. Selain itu, harus konsisten menjaga kebersihan lingkungan, menghindari mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi antibiotik serta memasak makanan hingga matang.
Keempat, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bijak dalam menggunakan antibiotik. Hal ini dapat dilakukan dengan penyuluhan langsung kepada masyarkat.
Sumber :
Centers for Disease Control and Prevention. 2019. Antibiotic / Antimicrobial resistance. Dapat diakses di https://www.cdc.gov/drugresistance/about.html [Diakses pada 20 November 2019]
Desrini, Sufi. “Resistensi Antibiotik, Akankah Dapat Dikendalikan ?” Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia 6.4 (2015): doi:10.20885/JKKI.Vol6.Iss4.art1
Milken Institute School of Public Health. 2019. What is Antibiotic Resistance?. Dapat diakses di http://battlesuperbugs.com/science/what-antibiotic-resistance [Diakses pada 20 November 2019]
Utami, P. 2012. Antibiotik Alami untuk Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka
World Health Organization. 2018. Antibiotic resistance. Dapat diakses di https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/antibiotic-resistance [Diakses pada 20 November 2019]
Yuliati, D. 2018. Landasan Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia. Dapat diakses di http://www.persi.or.id/images/2018/data/materi_drdettie.pdf [Diakses pada 20 November 2019]