Majalah Farmasetika – Pada hari Jum’at (10/7/2020), Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) bersama para apoteker di Indonesia resmi mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung RI untuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes/PMK) nomor 3 tahun 2020 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit.
Menurut press rilis yang diberikan kepada redaksi Majalah Farmasetika (10/7/2020), hal ini dilakukan untuk menegakkan pelayanan kefarmasian mandiri, yakni mengurangi masalah terkait obat, mengurangi biaya pengobatan, dan menjamin keselamatan pasien.
PMK No. 3/2020 Tempatkan Pelayanan Kefarmasian sekelas Binatu
Seperti diketahui sebelumnya, PMK No.3/2020 menempatkan layanan kefarmasian termasuk layanan non medik sekelas laundry/binatu, pengolahan gizi, dan pemulsaran jenazah.
Berikut adalah keterangan selengkapnya terkait penjelasan perbedaan jenis pelayanan dan sumber daya manusia apoteker dan tenaga teknis kefarmasian hasil analisa dari FIB.
FIB himpun donasi untuk proses judicial review
Berdasarkan rilis di akun media sosial FIB pada tanggal 4 Juli 2020, FIB telah berhasil menghimpun dana donasi dari tenaga kefarmasian di seluruh Indonesia sebesar lebih dari 100 juta rupiah.
Sebesar 50 juta rupiah telah diberikan kepada pengacara sebagai dana termin pertama. Penggalangan dana masih dilakukan untuk mengawal proses ini hingga tuntas.
Proses judicial review telah dimulai
Para pemohon memberikan Kuasa Khusus kepada Mirza Zulkarnaen dkk sebagai Tim Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Yusuf yang berkedudukan di Yusuf Building Mampang Square A-2, Jakarta.
“Buku super tebal ini bukan Pharmacopoeia gaess, melainkan kumpulan keluh kesah apoteker di berbagai daerah akibat keluarnya PMK 3 yang dibundel menjadi jadi satu berbahasa hukum formil lawyer yang para sejawat donatur sewa. Dilandasi berbagai bukti ilmiah yang dikumpulkan relawan tanpa kenal lelah” tertulis di akun facebook FIB pada Jum’at malam (10/7/2020) seraya mengunggah bukunya.
Hilangnya layanan farmasi klinis oleh apoteker di Rumah Sakit
Berdasarkan press rilis yang diterima, Praktek Profesi apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Rumah sakit telah diatur pada PMK No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah Sakit.
Disebutkan bahwa peran profesi apoteker di Rumah sakit meliputi standar (1) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Dan (2) Pelayanan Farmasi Klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang tidak efisien sehingga akan merugikan rumah sakit secara ekonomi dapat disebabkan akibat tidak adanya atau
kurangnya jumlah apoteker yang ada di suatu rumah sakit.
Ditemukannya obat rusak, kadaluarsa maupun tidak tersedia (obat kosong) menjadi kejadian ikutan. Sehingga
pengelolaan yang tidak efisien dapat merugikan pasien akibat pasien tidak mendapatkan sediaan farmasi, alkes maupun BMHP yang aman dan bermutu sesuai dengan kebutuhan
mereka.
Munculnya PMK No. 3 tahun 2020 tentang klasifikasi dan perijinan rumah sakit menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan pasien akibat tidak dikenalnya pelayanan kefarmasian sebagai suatu pelayanan tersendiri dan hilangnya pelayanan farmasi klinis.
Kajian dan bukti ilmiah peranan apoteker di Rumah Sakit
Dari sudut pandang ekonomi-kesehatan (Healtheconomy), berbagai studi menunjukkan bahwa integrasi praktek apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien di rumah sakit terbukti dapat memberikan manfaat baik langsung maupun tidak langsung.
Manfaat dimaksud tidak hanya pada aspek klinis yang langsung dirasakan oleh pasien namun juga sisi ekonomi yang harus ditanggung oleh pasien dan manajemen rumah sakit.
Peran apoteker dari sudut pandang klinis Permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat (Drug Related Problems – DRPs) di rumah sakit khususnya di Indonesia termasuk sangat tinggi bahkan hingga mencapai 56%.
Pada setiap 100 orang pasien yang di rawat di rumah sakit, 56 diantaranya akan mengalami permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat baik yang ringan sehingga dapat ditahan oleh pasien hingga kasus
DRPs yang berat hingga menimbulkan kematian atau kecacatan permanen.
Beberapa contoh kasus DRPs yang sering terjadi adalah pasien yang memiliki indikasi penyakit namun tidak mendapatkan obat (55,63%) dosis obat yang kurang (44,37%), standar pemantauan penggunaan obat yang tidak diikuti (98,45%), dan pengobatan yang tidak berdasarkan landasan ilmiah (2,82%).
Peran apoteker dengan memberikan kontribusi nyata dengan mempraktekan ilmu farmasi klinis pada pelayanan kefarmasian dipercaya mampu mencegah DRPs.
PMK 3 mengancam keselamatan pasien di Rumah Sakit
Beberapa penelitian lain di Indonesia juga membuktikan bahwa apoteker di rumah sakit secara signifikan mampu menurunkan angka kejadian Permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan obat (DRPs).
Bukti-bukti yang dihasilkan melalui metode ilmiah yang teruji validitasnya tersebut menunjukkan bahwa jumlah apoteker di rumah sakit yang cukup
dan mempraktekan pelayanan kefarmasian sesuai dengan PMK nomor 72 tahun 2016 dapat memberikan manfaat secara klinis bagi pasien.
Oleh karena itu, munculnya PMK No. 3
tahun 2020 mengancam tidak hanya praktek profesi apoteker, stabilitas manajemen rumah sakit namun juga yang paling penting keselamatan pasien yang di rawat di rumah sakit.
3 tujuan utama uji materi PMK 3/2020
Press rilis yang ditandatangani langsung oleh presidium nasional, Fidi Setyawan, S.Farm., M.Kes., Apt. dan para dewan presidium nasional diakhiri dengan menjelaskan tujuan final uji materi PMK 03/2020 yakni untuk dikabulkannya petitum diantaranya ;
- Menyatakan Bahwa Pelayanan Kefarmasian merupakan Profesi yang Profesional dan Mandiri sebagai bagian dari pelayanan Rumah Sakit.
- Berfungsinya pelayanan Farmasi Klinis yang menjamin tidak adanya medication error sehingga keselamatan pasien lebih terjamin dan menurunkan biaya pelayanan
kesehatan. - Adanya pengaturan jumlah SDM Tenaga Kefarmasian minimal yang harus disediakan oleh RS sehingga pelayanan terhadap pasien bisa paripurna.