Majalah Farmasetika (V1N8-Oktober 2016). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis laporan terkait Kajian Tata Kelola Obat dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Portal Pengetahuan Antikorupsi (anticoruption clearing house/ACCH) dimana terdapat 8 masalah tata kelola lengkap dengan saran untuk pemangku kepentingan, yakni Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat Makanan (Badan POM) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP).
Atas potensi masalah-masalah yang ditemukan KPK, KPK memberikan saran perbaikan yang komprehensif dan terpadu yang melibatkan seluruh stakeholder terkait.
Ketidaksesuaian FORNAS dan E-catalogue
• Tidak semua item obat FORNAS tayang di e-catalogue. Sebaliknya, terdapat obat yang tidak masuk FORNAS tayang di e-catalogue
• Akibatnya:
(1) Tidak adanya acuan referensi harga untuk BPJS Kesehatan dalam membayar klaim obat
(2) Faskes kesulitan untuk pengadaan obat
(3) Kemenkes tidak memiliki dasar untuk mengevaluasi kebijakan pengadaan obat JKN
Saran untuk Kemenkes:
1. Mempercepat proses penetapan obat FORNAS berikut data pendukung sehingga e-catalogue dapat diakses pada awal tahun
2. Menargetkan seluruh item FORNAS masuk ke dalam e-catalogue
3. Menerbitkan aturan terkait harga obat referensi untuk obat FORNAS yang belum tayang di e-catalogue setelah proses pengadaan e-catalogue obat selesai dilaksanakan LKPP
Jangka Waktu: 6 (enam) bulan 17
Aturan Perubahan FORNAS Berlaku Surut Melanggar Asas Kepastian Hukum
• Adendum FORNAS 2015 berdasarkan KMK No. HK.02.02/Menkes/137/2016 diterbitkan tanggal 18 Februari 2016 tetapi diberlakukan surut sejak tanggal 1 Januari 2016. Pada adendum terjadi penambahan, pengurangan item dan perubahan restriksi yang berpotensi menimbulkan masalah.
• Potensi terjadi gagal klaim oleh RS karena terlanjur memberikan obat yang ternyata sudah dikeluarkan dari FORNAS atau karena memberikan obat yang berubah retriksinya, khususnya untuk obat sitostika yang dibayar di luar paket INA-CBGs. Atau malah terjadi sebaliknya RS menjadi dapat mengajukan klaim kembali yang seharusnya tidak bisa dilakukan karena item obat yang sudah keluar muncul kembali.
• Asas kepastian hukum hukum tidak berlaku surut agar tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun
Saran untuk Kemenkes:
1. Mengeluarkan kebijakan yang jelas untuk mengatasi potensi masalah kegagalan pembayaran klaim akibat pemberlakuan surut adendum FORNAS
2. Pemberlakuan FORNAS dan adendum diberi waktu dari tanggal penetapan, karena ada konsekuensi keuangan (untuk meminimalisasi kendala pembayaran klaim)
Jangka Waktu: 6 (enam) bulan 18
Tidak Akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) Sebagai Dasar Pengadaan E-Catalogue
• Belum semua Dinkes, terutama Faskes (RS dan Apotek) rekanan BPJS Kes menyampaikan RKO kepada Kemenkes sebagai dasar pengadaan obat e-catalogue. Penyampaian RKO 2016: RSP 59%, RSS 2%, Apotek PRB 15%
• Data RKO yang ada melenceng jauh dari realisasi belanja (hanya mencapai 30-40%) dan data RKO belum terhubung dengan e-catalogue sehingga faskes yang tidak menyampaikan RKO tetap dapat belanja dan/atau sebaliknya menimbulkan kekosongan obat dan juga kelebihan stok obat dan kerugian pada Industri Farmasi.
• Telah dibangun e-monev tahun 2016 untuk mengatasi ketidakakuratan RKO tetapi sosialisasi dan penggunaan belum optimal
Saran untuk Kemenkes:
1. Memperbaiki mekanisme penyusunan RKO dan validasinya sehingga menjadi data yang akurat
2. Mengoptimalkan penggunaan e-monev dan mensosialisasikannya kepada pihak-pihak terkait
3. Mengeluarkan aturan bahwa akses belanja obat di e-catalogue hanya untuk satker/faskes yang menyampaikan RKO
4. Mengintegrasikan e-monev dan e-catalogue sehingga data RKO dan realisasi belanja dapat terhubung
Jangka Waktu: 6 (enam) bulan
Mekanisme Pengadaan Obat Melalui E-Catalogue Belum Optimal
• Masih terjadi keterlambatan dan kegagalan lelang obat oleh LKPP. Tahun 2016, e-catalogue baru dapat diakses satker pada bulan April.
• Kelemahan aplikasi e-catalogue: Tidak ada notifikasi status pemesanan dan informasi stok barang, sulit diakses pada siang hari
• Faskes Swasta Provider tidak diberi akses e-catalogue secara online
• Belum dilakukannya penerapan sanksi bagi IF penyedia obat yang wanprestasi
• Akibat:
(1) Persentase belanja obat faskes di e-catalogue kurang dari 70%
(2) Tingkat kepatuhan IF Penyedia Obat rendah
(3) Tidak ada insentif bagi Faskes Swasta untuk menjadi provider JKN
Saran untuk LKPP :
1. Melakukan proses lelang obat-obat yang akan masuk dalam e-katalog sebelum tahun berjalan sehingga e- catalogue dapat diakses pada awal tahun berjalan
2. Memperbaiki aplikasi e-catalogue (menjadi user friendly, memberikan informasi stok, pemberian akses kepada provider JKN)
3. Menerbitkan aturan yang mengatur pemberian sanksi yang menimbulkan efek jera dan menerapkannya secara konsisten
Saran untuk Kemenkes:
Menyempurnakan e-monev sehingga dapat mencatat data pembelanjaan obat secara offline
Jangka Waktu: 6 (enam) bulan
Ketidaksesuaian Daftar Obat pada PPK FKTP dengan FORNAS FKTP
• Terdapat ketidaksesuaian daftar obat yang ada pada Panduan Praktek Klinis (PPK) FKTP berdasarkan PMK 5/2014 dengan FORNAS pada FKTP berdasarkan KMK 137/2016
• Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan panduan yang menjadi acuan bagi Dinkes dan Puskesmas dalam melaksanakan perencanaan, pengadaan dan penggunaan obat
Saran untuk Kemenkes:
1. Melakukan sinkronisasi aturan penggunaan obat yang bertentangan
2. Menerbitkan dan mensosialisasikan aturan yang telah disinkronisasi tersebut
Jangka Waktu: 6 (enam) bulan 24
Belum Ada Aturan Minimal Kesesuaian FORNAS pada Formularium RS/Daerah
• Belum ada aturan yang mengatur minimal kesesuaian FORNAS pada formularium RS/Formularium Daerah. Saat ini baru terdapat Perdirjen BUK No. HK.02.03/I/2318/2015 yang mengatur Key Performance Indicator (KPI) penggunaan FORNAS (>=80%) untuk RS Vertikal Kementerian Kesehatan.
• Saat ini, Pemerintah baru mengatur pelaporan kesesuaian penggunaan FORNAS ke Kemenkes berdasarkan KMK 524/2015, namun tahun 2015 Dit. Yanfar baru berhasil mengumpulkan laporan dari 100 Dinkes dan 116 Rumah Sakit.
• Akibatnya:
(1) Penggunaan obat di luar FORNAS pada Formularium RS dan Formularium Daerah tidak dapat dikendalikan sehingga berpotensi menimbulkan gratifikasi dari industri farmasi
(2) Tidak ada kendali mutu dan biaya dalam pengadaan obat di faskes
Saran untuk Kemenkes:
1. Membuat aturan terkait minimal kesesuaian FORNAS pada formularium RS Pemerintah/Formularium Daerah
2. Memasukkan persentase kesesuaian FORNAS dalam Formularium RS menjadi syarat akreditasi RS.
3. Membuat panduan penyusunan Formularium RS
Jangka Waktu: 6 (enam) bulan 25
Belum Optimalnya Monitoring dan Evaluasi Terkait Pengadaan Obat
• Belum dilakukan pendataan item obat FORNAS yang tidak masuk ke e-catalogue oleh Kemkes
• Belum dilakukan pendataan realisasi belanja obat yang lengkap dan akurat oleh Kemkes belum semua IF penyedia e-catalogue melaporkan realisasi pemenuhan komitmen (online dan offline) sesuai PMK 63/2014 kepada Kemkes
• Akibat:
(1) Kemkes tidak memiliki dasar untuk mengevaluasi kebijakan pengadaan obat JKN
(2) Industri farmasi tidak memenuhi permintaan faskes dengan alasan sudah memenuhi komitmen kontrak dari pembelian offline Saran Kemkes
(3) Tingkat kepatuhan industri farmasi terhadap pemenuhan komitmen rendah
Saran untuk Kemenkes :
• Membuat pendataan terkait obat FORNAS yang tidak tayang dan melakukan evaluasi untuk mencari penyebab dan solusi perbaikan
• Menyempurnakan aplikasi e-monev obat sehingga dapat mencatat data realisasi belanja obat secara akurat dan mendorong penggunaannya kepada seluruh stakeholder terkait
Jangka Waktu: 6 (enam) bulan
Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga
a. Lemahnya Koordinasi LKPP dan Kemenkes
• Tidak ada SOP bersama yang mengatur secara jelas jadwal dan mekanisme penyampaian RKO serta pelaksanaan pengadaan e-catalogue obat yang melibatkan 2 (dua) lembaga. Contoh: Proses lelang tahun 2016 terhambat karena adanya permintaan pembatalan proses lelang secara mendadak oleh Kemenkes.
• Tidak sinkronnya data yang dimiliki LKPP dan Kemkes terkait e-catalogue (mis: jumlah obat tayang dan nilai transaksi belanja)
b. Lemahnya Koordinasi Kemenkes dan BPOM
• Penyampaian data pendukung untuk proses pengadaan e-catalogue terkait NIE tidak akurat sehingga menghambat proses lelang. Kemkes mendapat informasi terkait NIE melalui website BPOM yang tidak terkini.
• BPOM belum menyediakan data secara khusus terkait NIE obat yang diperlukan untuk proses pengadaan e-catalogue. Akibat: Keterlambatan dan/atau kegagalan dalam proses lelang .
Saran untuk Kemenkes, LKPP dan BPOM:
1. Membangun SOP bersama pelaksanaan e-catalogue termasuk batasan waktu setiap tahapan
2. Membangun sistem terintegrasi untuk kebutuhan informasi NIE yang terkini.