Majalah Farmasetika – Penyimpanan adalah salah satu hal penting yang berperan dalam menjaga mutu suatu produk. Produk obat yang dihasilkan oleh industri farmasi harus dapat memberikan efek yang diinginkan yaitu menyembuhkan suatu penyakit atau meningkatkan derajat kesehatan orang banyak.
Proses pendistribusian yang baik dan benar harus dilakukan untuk tercapainya kestabilan dan kualitas produk bagi pasien. Pedoman yang digunakan dalam proses pendistribusian yang baik dan benar telah diatur dalam Cara Distribusi Obat Yang Baik dan Benar (CDOB).
CDOB mengatur agar suatu produk didistribusikan sesuai dengan kondisi dan faktor yang mempengaruhi kestabilan produk tersebut, salah satu produk yang harus dijaga penyimpanannya adalah produk rantai dingin atau Cold Chain Product (CCP).
Penerapan CDOB yang penting yaitu pendistribusian produk rantai dingin dari mulai penerimaan, penyimpanan, hingga pendistribusian.
Menjaga kestabilan dan kualitas produk obat bukan hanya bergantung pada proses CDOB di Pedagang Besar Farmasi (PBF) saja akan tetapi apotek atau instalasi farmasi sebagai sarana kesehatan yang melakukan penyaluran obat ke pasien.
Latar belakang
Obat merupakan bahan atau disebut juga paduan bahan, termasuk produk biologi yang dapat digunakan untuk menyelidiki atau mempengaruhi keadaan patologi atau sistem fisiologi untuk penetapan diagnosis, penyembuhan, pencegahan, pemulihan, kontasepsi, dan peningkatan kesehatan manusia (Supardi dkk, 2012). Penyimpanan adalah salah satu hal penting yang berperan dalam menjaga mutu suatu produk. Produk obat yang dihasilkan oleh industri farmasi harus dapat memberikan efek yang diinginkan yaitu menyembuhkan suatu penyakit atau meningkatkan derajat kesehatan orang banyak, oleh karena itu penyimpanan obat harus dilakukan sebaik mungkin mengikuti aturan yang berlaku. Ketidaksesuaian prosedur atau kondisi penyimpanan dapat berakibat pada ketidakefektifan obat bahkan sampai menyebabkan kerusakan obat yang dapat merugikan bagi perusahaan dan tentunya bagi pasien yang akan mengkonsumsi obat tersebut.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kualitas suatu bahan atau obat yang disimpan. Salah satu elemen yang mempengaruhi kondisi penyimpanan yaitu suhu. Produk farmasi harus disimpan pada suhu yang sesuai untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya degradasi obat yang akan mempengaruhi kualitas dan keamanan obat (BPOM, 2012).
Suatu obat meskipun mempunyai efek samping yang kecil dan efek farmakologi yang besar, tetapi tidak stabil dalam proses penyimpanannya maka efektivitasnya dapat menjadi sangat rendah ketika digunakan oleh pasien atau konsumen (Guillory dan Poust, 1996).
Cara Distribusi Obat yang Baik
Proses pendistribusian yang baik dan benar harus dilakukan untuk tercapainya kestabilan dan kualitas produk bagi pasien. Pedoman yang digunakan dalam proses pendistribusian yang baik dan benar telah diatur dalam Cara Distribusi Obat Yang Baik dan Benar (CDOB). CDOB mengatur agar suatu produk didistribusikan sesuai dengan kondisi dan faktor yang mempengaruhi kestabilan produk tersebut, salah satu produk yang harus dijaga penyimpanannya adalah produk rantai dingin atau Cold Chain Product (CCP).
Rantai dingin disebut juga Cold Chain adalah rantai pasok produk dengan produk yang harus dijaga suhunya pada kisaran yang telah ditetapkan dalam pendistribusian produk (Priyandari et al, 2017; Hidayat et al, 2013).
Produk rantai dingin yang tidak dijaga suhunya dapat mengakibatkan kerusakan pada produk sehingga efikasi atau efektivitas obat juga dapat terganggu. Salah satu penerapan CDOB yang penting yaitu pendistribusian produk rantai dingin dari mulai penerimaan, penyimpanan, hingga pendistribusian.
-
Penerimaan
Pada proses penerimaan hal-hal yang harus diperhatikan yaitu:
- Nama produk
- Jumlah produk
- Kondisi fisik produk
- Tanggal kadaluarsa
- Nomor bets produk
- Kondisi alat pemantauan suhu
- Kondisi Vaccine Vial Monitors (VVM) jika ada
Vaccine Vial Monitors (VVM) merupakan label pada botol khusus yang dapat mengindikasikan secara visual paparan suhu tinggi pada jangka waktu yang cukup untuk dapat mempengaruhi atau merubah potensi dari produk vaksin (PAN, 2014). Apabila pada saat penerimaan terdapat penyimpangan pada indicator VVM atau alat pemantauan suhu maka tambahkan label khusus pada produk CCP, akan tetapi produk CCP tetap disimpan pada suhu dan tempat yang sesuai dengan aturan yang dipersyaratkan. Sesegera mungkin laporkan kejadian penyimpangan tersebut kepada pengirim (BPOM RI, 2020; Medisa dan Diesty, 2018; Kumru et al, 2014).
-
Penyimpanan
Pada proses penyimpanan, fasilitas yang dibutuhkan untuk pemyimpanan produk CCP yaitu:
- Chiller atau cold room (suhu 2℃ – 8℃), dipergunakan untuk penyimpanan produk vaksin dan juga serum misalnya vaksin campak, hepatitis B, DPT, DT, BCG, DPT-HB dan TT.
- Freezer atau freezer room (suhu -15℃ hingga -25℃), dipergunakan untuk penyimpanan produk vaksin OPV.
Penyimpanan vaksin pada freezer ataupun chiller harus diberi jarak antar kotak vaksin sekitar 1-2 cm agar sirkulasi udara tetap terjaga dan juga untuk mencegah terjadinya kelembaban yang berlebihan yang nantinya dapat merusak kemasan, hal itu juga dapat mempermudah dalam hal pengambilan produk (Long et al, 2013). Selain itu, kegiatan monitoring suhu juga harus dilakukan minimal 3 kali dalam sehari yaitu pada pagi, siang dan sore untuk mengetahui fluktuasi dan keadaan produk yang disimpan.
-
Pendistribusian
WHO menyebutkan bahwa “cold life” atau mempertahankan suhu <10℃ pada cool box dengan kantong es hanya bertahan pada 2-3 hari (Maule et al, 2016). Cool box bisa digunakan untuk menjaga produk vaksin dan pelarutnya tetap dalam kondisi dingin selama distribusi sekitar 2-7 hari. Cool box sendiri adalah wadah yang berinsulasi dan dapat dilapisi kantong es, biasa digunakan untuk mendistribusikan vaksin ke fasilitas kesehatan dan juga biasa digunakan ketika lemari es rusak (Sembiring dan Nasrul, 2021).
Dalam pendistribusian, transportasi juga harus dirancang agar dapat menjaga suhu dari pengaruh lingkungan dan suhu luar. Sehingga, selama proses transportasi suhu cool box atau vaccine carrier harus selalu terpantau. Selain itu, jenis kemasan yang dibutuhkan atau wadah kotak berinsulasi juga harus memperhatikan durasi transit, suhu lingkungan ataupun suhu luar, dan jumlah atau ukuran pengiriman (Haan et al, 2013).
Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk dapat memastikan kualitas dari suatu produk agar tetap terjaga yaitu dry ice gel pack, refer container, nitrogen cair, dan lain-lain sesuai dengan standar suhu. Kemasan atau bahan pendingin yang digunakan bergantung pada ketentuan dari setiap produk contohnya gel packs untuk pendingin, nitrogen cair untuk pembeku, dan refeer container digunakan untuk pengiriman dengan jarak yang jauh (McColloster, 2011).
Setelah produk obat didistribusikan dari PBF sesuai CDOB, produk obat tersebut juga harus tetap dijaga kestabilannya sampai ke tangan pasien atau konsumen. Apotek atau instalasi farmasi sebagai salah satu sarana penyaluran obat hingga ke tangan pasien, harus dapat memastikan produk obat disimpan ditempat yang sesuai. Hal tersebut dilakukan agar kualitas dan efikasi obat tetap terjaga, selain itu apabila produk yang disalurkan ke pasien tidak habis pakai juga harus diinformasikan cara penyimpanannya secara lengkap kepada pasien atau konsumen.
Kesimpulan
Untuk menjaga kestabilan dan kualitas produk obat perlu memperhatikan penerimaan, penyimpanan, dan juga pendistribusian sesuai dengan CDOB.
Selain itu, menjaga kestabilan dan kualitas produk bukan hanya bergantung pada proses CDOB di Pedagang Besar Farmasi (PBF) saja akan tetapi apotek atau instalasi farmasi sebagai sarana kesehatan yang melakukan penyaluran obat ke pasien juga ikut berperan penting dalam menjaga kestabilan dan kualitas produk obat.
Tentunya apoteker sebagai penanggung jawab di PBF dan apotek berperan penting dalam menjaga kestabilan obat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Guillory, K. and Poust, R., 1996. Chemical Kinetics and Drug Stability in: Modern Pharmaceutics. (Banker, G.S. dan Rhodes, C.T., Ed.) 3rd. Ed., Marcel Decker Inc., New York, 179 – 211.
BPOM RI. 2020. Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik. Jakarta: BPOM RI.
Haan GH, Hillegersberg JV, De Jong E, dan Sikkel K. 2013. Adoption of wireless sensors in supply chains: a process view analysis of a pharmaceutical cold chain. Journal of Theoretical and Applied Electronic Commerce Research. Vol. 8 (2):138-154.
Hidayat AT, Gurning ROS, Purwono S. 2013. Evaluasi sistem manajemen rantai dingin di PT. Terminal Peti kemas Surabaya (TPS) untuk hortikultura jeruk dan anggur. Jurnal Teknik Sistem Perkapalan. Vol. 1(1): 1–11.
Kumru OS, Joshi SB, Smith DE, Middaugh CR, Prusik T and Volkin DB. 2014. Vaccine instability in the cold chain: Mechanisms, analysis and formulation strategies Biologicals. Vol. 42 (5):237–59.
Long AJ, Hayney MS. 2013. Best practices essential for storage and temperature monitoring of refrigerated vaccines. J. Am. Pharm. Assoc. Vol. 53 (6):660–661.
Maule E, Eastman W, March E. 2016. Temperature Management of Medicines Storage and Transport. Vol. 12(78).
McColloster PJ. 2011. US vaccine refrigeration guidelines: Loose links in the cold chain. Hum Vaccine. Vol. 7(5):574–5.
Medisa D dan Diesty AN. 2018. Vaccines distribution system at primary healthcares in the special region of Yogyakarta. Indonesian Journal of Medicine and Health. Vol. 9(3):181-186.
Priyandari Y, dkk. 2010. Purwarupa Alat Monitoring Suhu Untuk Rantai Dingin Produk Mengunakan Near Field Communication Studi Kasus Distribusi Darah. Jurnal Ilmiah Teknik Industri, 16 (2): 115-122.
PAN American Health Organtization. 2014. Practical guide: inactivated poliovirus vaccine (IPV) introduction. Washington DC: Pan American Health Organizations.
Sembiring D, dan Nasrul W. 2021. Evaluasi Pelaksanaan Pendistribusian Cold Chain Product (CCP) oleh Salah Satu Pedagang Besar Farmasi (PBF) di Kota Bandung. Majalah Farmasetika. Vol. 6(4):300-309.
Supardi. S., Handayani. R.S., Herman. M.J., Raharni, dan Susyanty. A.L. 2012. Kajian Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemberian Informasi Obat dan Obat Tradisional di Indonesia. Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol 2. No 1. Hal: 20-27.