farmasetika.com – Rubrik Opini. Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan terhadap tulisan sebelumnya berjudul “Absennya Apoteker dalam Peringatan Hari Pangan Sedunia Tahun 2017“. Dalam artikel tersebtu dipaparkan tentang nyaris tidak terlihatnya peran apoteker dalam peringatan Hari Pangan Sedunia Tahun 2017.
Kegiatan Hari Pangan Sedunia Tahun 2017 di Indonesia
Sebuah forum strategis kerja sama pemerintah Indonesia dengan EAT Foundation dengan tajuk EAT Asia Pacific Food Forum belum lama ini berlangsung di Jakarta pada tanggal 30-31 Oktober 2017. Forum Pangan Asia Pasifik, yang dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla ini diikuti oleh para pejabat tinggi lintas sektor, para pelaku bisnis, akademisi dan masyarakat sipil.
Dalam sambutannya di acara tersebut, Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, menyatakan bahwa ”Makanan dan pola makan yang tidak sehat adalah faktor risiko berbagai penyakit di dunia dan menjadi pencetus utama terjadinya penyakit kronis”.
Isu pangan sejatinya memang tidak dapat dilepaskan dari isu kesehatan. Makanan adalah komoditi yang sehari-hari dikonsumsi oleh masyarakat luas, baik kaya atau miskin, tua atau muda, sehat atau sakit. Ketika terjadi sesuatu pada makanan, maka dampaknya akan sangat besar, termasuk bagi kesehatan. Itulah mengapa tema keamanan pangan adalah isu yang sangat dekat dengan kesehatan, dan bahkan sempat diusung dalam peringatan Hari Kesehatan Dunia tahun 2015.
Selain berkaitan erat dengan kesehatan, keamanan pangan juga berkaitan dengan perdagangan dan perindustrian sehingga penanganannya pun memerlukan kolaborasi lintas sektoral. Dengan demikian, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan keamanan pangan ini tidak terbatas hanya pada satu instansi. Namun merupakan kerjasama antar kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, juga koordinasi pemerintah pusat, provinsi dan daerah.
Tinjauan Perundang-undangan tentang Pangan
Selain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengatur tentang pangan secara global, sebelumnya telah ada Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yang mengatur lebih teknis tentang keamanan pangan. PP ini memetakan pembagian kewenangan antar instansi dalam menangani keamanan, mutu dan gizi pangan, namun sekarang sedang dalam proses revisi untuk disesuaikan dengan perkembangan terkini.
Undang-Undang Pangan, pada Penjelasan Pasal 68 ayat 2 mengamanatkan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan dilakukan antara lain, dengan berbasis analisis risiko. Analisis risiko adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh WHO (World Health Organization) dan FAO (Food Agricultural Organization) untuk menilai, menangani dan mengomunikasikan risiko terkait keamanan pangan. Pendekatan analisis risiko sendiri mencakup penilaian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko.
Penerapan analisis risiko di bidang keamanan pangan di Indonesia diwujudkan melalui Surat Keputusan Menko Kesra Nomor 23 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Jejaring Keamanan Pangan Nasional (JKPN). JKPN terdiri atas tiga kelompok kerja, yaitu Jejaring Pengawasan Pangan (JPP), Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP) dan Jejaring Intelijen Pangan (JIP) dengan mengkoordinasi dan mengintegrasikan berbagai program keamanan pangan dari berbagai instansi.
Dalam hal penilaian risiko, prinsip dasar ilmu farmasi yakni kaidah Paracelsus, menyatakan bahwa semua zat adalah racun, yang menentukan adalah dosisnya. Suatu zat dapat menjadi obat yang menyembuhkan, atau menjadi racun yang mematikan. Prinsip ini diterapkan secara luas pada kajian-kajian keamanan pangan antara lain sebagai dasar ilmiah dalam penentuan batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan, atau pelarangan bahan-bahan kimia berbahaya pada produksi pangan.
Hasil penilaian risiko kemudian ditindak lanjuti oleh manajer risiko dengan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan mengkomunikasikan risiko kepada pihak terkait. Untuk itu peran apoteker di lembaga pemerintah seperti Kementerian Kesehatan dan Badan POM sangat penting dalam proses penyusunan dan penetapan berbagai regulasi untuk mewujudkan makanan yang aman bagi masyarakat.
Absennya Apoteker dalam Penanganan Keamanan Pangan Bukan Istilah yang Tepat
Terkait penanganan keamanan pangan, ‘absennya apoteker’ barang kali bukan istilah yang tepat karena seolah meniadakan kontribusi apoteker pada bidang yang strategis ini. Namun memang eksistensi apoteker inilah yang terkadang (atau sering) belum dirasakan secara nyata. Apoteker mungkin memang masih berada dalam barisan mereka yang tak terlihat dan hanya dicari-cari saat terjadi insiden terkait kefarmasian.
Disadari keberadaannya atau tidak, dengan pengabdian profesi apoteker diharapkan berbagai permasalahan keamanan pangan seperti penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak tepat, penyalahgunaan bahan kimia berbahaya dan sebagainya akan dapat turut tertangani dengan lebih baik.
David Zweig dalam bukunya Invisibles: Celebrating the Unsung Heroes of the Workplace, membuka selubung jubah gaib yang dikenakan sebagian di antara kita, yakni para profesional yang berperan sangat penting dalam instansinya, namun tidak dikenal oleh publik. Zweig mengulas para profesional seperti penata arah di bandara, teknisi suara musisi, pemeriksa fakta di majalah, hingga penerjemah elit di Persatuan Bangsa Bangsa.
Sejatinya, tak semua hal yang penting dapat dilihat secara kasat mata, sebagaimana jantung dan otak kita yang bekerja tanpa merasa perlu berada di luar untuk dapat dilihat. Yang terpenting adalah, hasilnya nyata dan terasa. Barangkali demikian.
Daftar Pustaka
- Republik Indonesia (2012). Undang-Undang Nomor 18 tentang Pangan. Jakarta : Sekretariat Negara
- Republik Indonesia (2004). Peraturan Pemerintah Nomor 24 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta : Sekretariat Negara
- David Zweig (2014) Invisibles: Celebrating the Unsung Heroes of the Workplace. New York : Penguin Group