Download Majalah Farmasetika

Menakar Kelayakan Implementasi RPL TTK ke Profesi Apoteker

Majalah Farmasetika – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 49/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa Menyatakan Pasal 212 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “hanya diberlakukan bagi mahasiswa kesehatan program sarjana yang mengikuti kuliah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sedangkan bagi mahasiswa yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, pada saat telah lulus dan memiliki sertifikat kompetensi serta mendapatkan STR dan SIP diwajibkan mengikuti pendidikan profesi yang materi dan kurikulumnya dirancang secara khusus dengan waktu yang lebih singkat sebelum perpanjangan SIP dilakukan”

Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dipercaya sebagai salah satu metode untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Apakah Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) itu? Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) menurut UU Pendidikan adalah pengakuan atas capaian pembelajaran dari jalur formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja yang dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan atau penyetaraan kualifikasi tertentu dalam kondisi tertentu.

Putusan MK ini menyasar seluruh lulusan sarjana kesehatan, termasuk sarjana gizi dan sarjana farmasi, meskipun diajukan oleh alumni Sarjana Gizi. Dengan demikian, muncul pertanyaan apakah Sarjana Farmasi yang telah bekerja sebagai Tenaga Vokasi Farmasi (Dulu disebut TTK) layak memperoleh akses untuk langsung masuk ke pendidikan Profesi Apoteker dengan sistem RPL?

ANOMALI PENDIDIKAN FARMASI DI INDONESIA

Pendidikan Sarjana Farmasi bukan sekadar pendidikan akademik yang terminal, melainkan suatu kesatuan proses akademik dan profesional yang terintegrasi dan bertujuan melahirkan Profesi apoteker. Pendidikan Profesi Apoteker di Indonesia dimulai dari jenjang Sarjana Farmasi (Drs./ S.Si./ S.Far./ S.Farm.) telah dirancang sebagai bagian dari jalur berjenjang dan terintegrasi menuju profesi Apoteker (Apt.). Hal ini sejalan dengan kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan UU Pendidikan Tinggi yang berlaku saat ini.

Namun dalam perkembangan regulasi, terjadi penyimpangan regulatif ketika Sarjana Farmasi dimaknai sebagai Tenaga Vokasi dengan sebutan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dalam PP No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 36 Tahun 2014. Hal ini menciptakan ambiguitas dalam sistem pendidikan farmasi serta membingungkan arah dan tujuan lulusan Sarjana Farmasi. Pengakuan legal yang menyamakan lulusan akademik dengan lulusan vokasi (D3 Farmasi) merupakan bentuk anomali regulatif, mengingat kedua jalur ini berbeda secara orientasi dan capaian pembelajaran. Sarjana Farmasi seharusnya menjadi tahap awal dalam proses menuju profesi Apoteker, bukan jalur akhir atau dikonversikan menjadi teknisi farmasi. Dalam masa itu, muncul pameo bahwa Profesi Apoteker adalah “TTK yang telah lulus sebagai apoteker, dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.”

Konsekuensi dari penyamaan legalitas dua jalur pendidikan yang tidak setara secara substansi ini telah menciptakan ketimpangan kompetensi, overlapping kewenangan, dan ketidakpastian hukum. Bahkan, lonjakan jumlah program studi S1 farmasi dari sekitar 30-an menjadi lebih dari 300-an pasca terbitnya PP 51/2009 menunjukkan bahwa banyak institusi membuka S1 Farmasi didirikan dengan tujuan utama mencetak TTK, bukan melahirkan calon apoteker. Kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu yang berdampak negatif pada tingkat penyerapan kerja lulusan S1 Farmasi, mutu pelayanan kefarmasian dan perlindungan masyarakat yang mulai dirasakan saat ini.

Baca :  Jual Produk Skin Care Palsu, Manajemen Apotek Minta Maaf Ke Pelanggan

POTENSI RPL PROFESI APOTEKER VS PROFESI GIZI

Profesi Apoteker merupakan profesi kesehatan yang telah ada selama lebih dari 1000 tahun, dengan pemisahan resmi dari profesi dokter sejak tahun 1240 oleh Kaisar Frederik II. Sejak saat itu, apoteker diakui sebagai profesi yang berdiri independen dan memiliki marwah global yang terjaga hingga kini. Pendidikan profesi apoteker tidak berasal dari jalur vokasi atau berjenjang dari asisten apoteker, melainkan melalui jalur akademik linier berupa Sarjana Farmasi diikuti oleh Pendidikan Profesi Apoteker. Pendidikan vokasi dalam farmasi sebenarnya bersifat terminal, sesuai kebutuhan dan tidak menjadi jalur transisi ke jenjang profesi.

Sebaliknya, Profesi Gizi di Indonesia berakar dari pendidikan vokasi, dimulai dari Sekolah Ahli Makanan (SAM) tahun 1950 dan berkembang menjadi akademi serta pendidikan vokasi D3 dan D4 Gizi di bawah Kementerian Kesehatan. Pendidikan sarjana gizi (S.Gz.) berkembang terpisah di bawah Kementerian Pendidikan, dengan IPB sebagai pelopor pada tahun 2005. Pengakuan formal terhadap profesi gizi, khususnya profesi Dietisien, baru muncul setelah UU No. 36 Tahun 2014, dengan pembukaan program profesi Dietisien pertama pada tahun 2016. Sedangkan untuk pendidikan profesi Nutritionis masih dalam tahap penyusunan naskah akademik pembukaan program studi profesi.

Dengan latar belakang historis dan sistem pendidikan yang berbeda, maka karakteristik pengembangan profesi apoteker dan profesi gizi juga berbeda. Profesi gizi secara struktur lebih membuka peluang RPL karena memiliki jalur berjenjang dari vokasi ke profesi. Sementara itu, sistem pendidikan farmasi dirancang linier akademik menuju profesi dan tidak membuka jalur RPL dari pendidikan vokasi, guna menjaga mutu dan keselamatan pasien dalam praktik kefarmasian.

IMPLEMENTASI RPL PROFESI APOTEKER

Rencana pemberlakuan Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) Profesi Apoteker bagi lulusan Sarjana Farmasi yang telah bekerja sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dengan masa studi selama enam hingga sembilan bulan menimbulkan polemik di kalangan akademisi dan profesi. Meskipun RPL merupakan bagian dari sistem pengakuan pembelajaran berbasis pengalaman yang diakui undang-undang, penerapannya dalam konteks profesi apoteker harus sangat hati-hati karena menyangkut keselamatan pasien dan mutu layanan kefarmasian.

Pengalaman lulusan S1 Farmasi sebagai TTK adalah berada pada ranah vokasi, yang berfokus pada keterampilan teknis di bawah supervisi apoteker. Sementara itu, profesi Apoteker menuntut kompetensi klinis dan manajerial yang kompleks, seperti pengambilan keputusan independen, edukasi pasien, komunikasi antarprofesi, hingga penjaminan mutu penggunaan obat. Kompetensi ini dibentuk melalui jalur akademik dan profesional yang terstruktur dan tidak dapat dicapai hanya melalui pengalaman teknis semata.

Penerapan RPL tanpa program bridging yang memadai berisiko menurunkan standar profesi dan menciptakan kesenjangan kompetensi yang serius. Hal ini tidak hanya berdampak pada keselamatan pasien, tetapi juga mencederai marwah dan kepercayaan publik terhadap profesi apoteker. Jika dibiarkan, kebijakan ini juga akan menciptakan masalah baru dan ketidakadilan bagi lulusan PSPA yang menempuh pendidikan secara utuh, intensif dan berkualitas.

Baca :  Siapkah Apoteker di Apotek Menyongsong Wajib Sertifikasi Halal Apotek 2026?

RPL UNTUK PERPANJANGAN SIP VOKASI

Salah satu tujuan utama dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengakuan lulusan sarjana kesehatan adalah untuk memperpanjang Surat Izin Praktik (SIP). Dalam hal ini, penerapan RPL Profesi Gizi dapat dibenarkan karena terdapat keselarasan antara kompetensi lulusan dan pengakuan terhadap sarjana gizi yang linier dengan capaian pembelajaran pada jenjang profesinya.

Sebaliknya, dalam bidang farmasi, lulusan Sarjana Farmasi saat ini memperoleh pengakuan sebagai tenaga vokasi, dengan Surat Tanda Registrasi (STR) dan SIP yang berada dalam ranah vokasional. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara status vokasional dan jalur profesi apoteker yang dituju. Oleh karena itu, apabila implementasi pendidikan profesi dalam farmasi diarahkan untuk memperpanjang SIP vokasi milik lulusan Sarjana Farmasi, maka penggunaan jalur RPL dapat dipahami dan dianggap sah.

Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa pendidikan profesi tidak selalu harus dimaknai sebagai pendidikan menuju profesi apoteker. Sebab, tenaga vokasi farmasi juga telah diakui sebagai bagian dari profesi kesehatan, lengkap dengan standar kompetensi dan organisasi profesinya. Dalam kerangka ini, penggunaan RPL dalam sistem vokasi mungkin lebih relevan dan tepat sasaran dibandingkan memaksakan transisi langsung menuju profesi apoteker yang memiliki tuntutan kompetensi dan tanggung jawab profesional yang jauh lebih tinggi.

KESIMPULAN

Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa banyak aspek yang masih harus dibenahi dalam sistem pendidikan farmasi di Indonesia. Usulan penerapan RPL Profesi Apoteker secara cepat dari Sarjana Farmasi yang bekerja sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) tidak layak dilaksanakan dalam waktu dekat. Hal ini disebabkan oleh lebar gap kompetensi antara tenaga vokasi dan tenaga profesional, ketiadaan kurikulum transisi yang memadai, risiko keselamatan pasien, serta ancaman terhadap profesionalisme dan integritas profesi apoteker di mata publik. Implementasi putusan Mahkamah Konstitusi pun tidak bisa dilakukan secara serta merta, apalagi jika hanya didorong oleh semangat ikut-ikutan atau ingin cepat mengambil peluang. Banyak parameter yang perlu disiapkan terlebih dahulu.

Di sisi lain, jika tujuan utamanya adalah perpanjangan SIP vokasi bagi Sarjana Farmasi yang telah bekerja sebagai TTK, maka jalur RPL bisa saja dijajaki, namun terbatas dalam kerangka penguatan dan pengakuan profesi vokasional, bukan sebagai jalur instan menuju profesi apoteker. Pendidikan profesi tidak bisa direduksi hanya sebagai legalitas administratif, tetapi harus tetap dijaga sebagai jenjang yang menjamin kualitas profesi apoteker dan keselamatan pasien.

Kalopun implementasi RPL Profesi Apoteker jadi dilaksanakan, ada pertanyaan yang mengemuka. Kampus mana yang akan menampung peserta RPL yang diperkirakan berjumlah puluhan hingga ratusan ribu orang? Bagaimana dengan nasib 33 ribu lulusan baru S1 Farmasi yang lahir tiap tahunnya? Kalopun akan dibuat institusi PSPA RPL khusus dan baru, siapkah regulator menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang muncul kedepan?  Salah satu contoh pertanyaan yang akan banyak muncul adalah “bagaimana kualitas profesi apoteker karbitan yang diluluskan institusi karbitan?” Peace, siapkan saja jawabannya.

Share this:

About apt. Fidi Setyawan, M.Si

Avatar photo
1. Dosen IIK Strada Indonesia 2. Presidium Farmasis Indonesia Bersatu 2018-2022 3. Kabid Kajian Hukum PD IAI Jawa Timur 2022-2026

Check Also

Meningkatkan Daya Saing Industri Farmasi Lewat Program Maturitas dan Tools Assessment dari BPOM

Majalah Farmasetika – Industri farmasi adalah salah satu sektor paling krusial dalam menjaga kesehatan masyarakat. …

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.