farmasetika.com – Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), baru-baru ini menjelaskan “Early Communication : Ruxolitinib dan Risiko Neuropati Perifer” melalui situs e-meso.pom.go.id.
Indikasi Ruxolitinib
Ruxolitinib merupakan inhibitor Janus Associated Kinase (JAK) 1 dan 2 yang diindikasikan untuk pengobatan pasien yang mengaiami myelofibrosis, termasuk primary myeiofibrosis, post-polycythemia vera myeloribrosis aiau post-essentiai thrombocythernia myelofibrosis.
Apa itu myelofibrosis?
Myelofibrosis adalah penyakit tulang sumsum serius yang mengganggu produksi normal tubuh sel darah dan hasil dalam jaringan parut yang luas dari sumsum tulang. Hal ini dapat menyebabkan anemia berat, kelemahan, kelelahan, dan sering pembesaran limpa dan hati dengan melemahkan gejala konstitusional.
Laporan WHO
Berdasarkan hasil proses signaling di WHO Global Data Base (VigiBase), terdapat isu keamanan axonal neuropathy pada penggunaan ruxolitinib. Kemudian dilakukan review lebih lanjut terkait dengan informasi keamanan ini dengan diperluas ruang lingkupnya mencakup neuropati perifer.
Neuropati perifer menggambarkan kerusakan pada sistem saraf perifer. Gangguar fungsi dan gejala tergantung pada jenis saraf (motorik, sensorik, atau otonom) yang rusak. Neuropati perifer merupakan efek samping yang umum untuk beberapa agen kemoterapi seperti taxanes, platinum agents, vinca alkaloids, thalidomide, dan bortezomib.
Hasil deteksi signal keamanan ruxolitinib pada VigiBase WHO hingga tanggal 21 Maret 2016, terdapat 5 laporan ruxolitinib sebagai obat yang dicurigai menyebabkan axonai neumpathy dan 32 laporan neuropati perifer. Ruxolitinib sebagai obat yang dicurigai, digunakan untuk indikasi myelofibrosis (29 kasus), polyrythaemia (3 kasus), lymphatic disorder (1 kasus), dan indikasi tdak diketahui (4 kasus). Median umur pasien 72 tahun (rentang 49 — 91 tahun).
Pada 36 laporan yang terdapat informasi jenis kelamin pasien, terdapat 19 pasien wanita dan 17 pasien laki — laki. Waktu onset terjadinya axonai neuropathy dan neuropati perifer bervadasi dari 7 hari hingga 3 tahun.
Diperoleh juga informasi outcome (kesudahan) terhadap penurunan dosis ruxolitinib pada 2 kasus tidak ada pemulihan dan pada 1 kasus lainnya pasien mengalami pemulihan (recovering). Terdapat juga informasi 4 laporan kasus yang menunjukkan adanya dechallenge negatif (obat dihentikan, namun tidak menunjukkan adanya perbaikan pada kondisi axonal neuropathy ataupun neuropati perifer), dan 3 laporan kasus menunjukkan dechallenge positif (obat dihentikan, dan pasien menunjuld(an pemulihan atau kesembuhan dari axonai neuropathy ataupun neuropati perifer).
Pada salah satu kasus dechallenge positif, dilaporkan terdapat concomitant drug (obat yang diminum dalam waktu yang bersamaan), yaitu atorvastatin (yang diketahui dapat menyebabkan neuropathy perifer, meskipun jarang teriadi) juga dihentikan penggunaannya.
Penggunaan obat yang diketahui dapat menyebabkan neuropati perifer dalam waktu bersamaan teridentifikasi pada beberapa kasus, yaitu obat hydroxycarbamide 2 laporan, tacrolimus 1 laporan, HMG-CoA-reductase inhibitors (simvastatin dan atorvastatin) 4 laporan dan bezallbrate 1 laporan.
Dilihat dari riwayat pengobatan, terdapat 1 pasien yang dilaporkan pemah menggunakan hydroxycarbamid-e dan 1 pasien dengan thalidomide, dan terdapat juga pasien sedang menjalani kemoterapi (bortezomib) ketika terjadi neuropati perifer dan ruxolitinib digunakan sebelum dan setelah kemoterapi.
Pada informasi produk ruxolitnib tidak terdapat inforrnasi mengenai neuropati perifer dan tidak ada literatur hingga saat ini yang membahas neuropati pertfer pada penggunaan ruxolitinib.
Informasi Keamanan dari Novartis
Berdasarkan informasi dari Novartis dilakukan penelusuran Novartis Global Safety Database hingga tanggal 22 Februari 2017 untuk ruxolitinib dengan Preferred Term: Neuropathy peripheral / Polyneuropathy / Peripheral motor neuropathy / Peripheral sensorimotor neuropathy / Peripherai sensory neuropathy / Axonal neuropathy dan diperoleh 103 kasus (dengan 107 kejadian).
Pada 42 kasus di antaranya, terdapat confounding factors yaitu kondisi medis (seperti pre-existina neuropathy, diabetes melitus, gangguan tiroid) dan concomitant medication (seperti statin, thalidomide dan analognya) yang berhubungan dengan atau dapat menyebabkan neuropati.
Pada 5 kasus, diketahui ada kasus laporan yang dinilai hubungan temporalnya implausibel dan ada laporan kasus yang dinilai rechallenge negatif (obat dihentikan, selang beberapa waktu diberikan kemball), oleh karena itu, hasil evaluasi hubungan kausal ruxolitinib dengan kejadian neuropati disimpulkan unlikely.
Pada 55 kasus, tidak dapat dilakukan medical assessment secara lengkap karena informasi yang terbatas, Pada kasus lainnya, karena adanya dechallenge positif dan tidak ada penjelasan lain yang kuat, disimpulkan bahwa ruxolitinib possible menyebabkan neuropati.
Neuropati perifer merupakan hal yang umum teramati pada beberapa inhibitor JAK lainnya. Neuropati perifer dicatat pada 44 dari 100 pasien myelofibrosis yang mendapat inhibitor JAK1/2 momeIotinib, dan pada 7 dar; 9 pasien pasien yang mendapat :inhibitor JAK 2 selektif XL019. Mengingat kemungkinan adanya class effect, kasus ini merupakan suatu sinyaI neuropati perifer yang diinduksi oleh ruxolitinib dan hal ini layak untuk diinvestigasi lebih lanjut untuk menilai perlunya mengupdate informasi produk yang relevan.
Laporan BPOM hingga Oktober 2017
Hingga bulan Oktober 2017, Badan POM sebagai Pusat Farmakovigilans E MESO Nasional belum pernah menerima laporan efek samping neuropati perifer pada penggunaan ruxolitinib di Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan kepada tenaga kesehatan profesional, Badan POM merasa periu untuk rnenyampaikan informasi ini. Apabila dalam praktik klinik sehari — hari, para tenaga kesehatan profesional menerima adanya keluhan efek samping neuropati perifer atau efek mirip lainnya pada pasien, dihimbau agar melaporkan efek samping tersebut kepada Badan POM RI menggunakan formulir kuning MESO atau secara online melalui subsite e-meso (http://e-meso.pom.go.lid).
Sumber:
1. Uppsala monitoring Centre WHO Collaborating Centre for International Drug Monitoring. 2017: Analyses of reports in the WHO global database of Thdividual case safety reports, VigiBase. April 2017.
2. Data Badan POM RI
3. https://www.news-medical.net/news/20091206/1/Indonesian.aspx