Majalah Farmasetika – Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) akan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Praktik Kefarmasian sebagai pengganti RUU Kefarmasian (Omnibuslaw).
Berdasarkan press rilis yang diterima redaksi (17/3/2021), FIB akan bersikap untuk mengambil alih legal drafter RUU Kefarmasian ini yang merupakan tindak lanjut dari hasil Mukernas III FIB yang berlangsung Januari 2021.
Dalam keterangannya, saat ini tim Adhoc RUU Praktik Kefarmasian yang dibentuk FIB sedang dalam tahap menyelesaikan naskah akademik dan draf RUU Praktik Kefarmasian.
Humas FIB, Apoteker Subagiyo Achmad mengungkapkan bahwa dari aspirasi yang berkembang, RUU yang saat ini berproses di DPR (RUU Kefarmasian Omnibus law) ternyata tidak tersosialisasi dengan baik dikalangan Apoteker dan kontennya tidak diinginkan oleh Apoteker dari berbagai himpunan.
“Yang diinginkan saat ini adalah UU Praktik Kefarmasian yang sangat penting bagi Apoteker dalam menjalankan praktik apoteker secara paripurna. Praktik Kefarmasian ternyata memiliki cakupan yg sangat luas, dari praktik mandiri di komunitas, praktik farmasi klinik sampai dengan praktik farmasi veteriner dan dari mulai praktik pembuatan sampai dengan evaluasi pengunaan perbekalan farmasi, sehingga otomatis akan bersinggungan keselamatan masyarakat luas”. Tegas Subagiyo
Dengan kondisi saat ini yg hanya mengidentikkan apoteker dengan logistik perbekalan farmasi tentunya sangat membahayakan kehidupan masyarakat itu sendiri karena mengabaikan bahaya penggunaan perbekalan farmasi dan pengobatan manusia hewan maupun tumbuhan.
“Untuk itu, keberadaan UU Praktik Kefarmasian yang memiliki keluasan cakupan praktek kefarmasian ini akan meningkatkan keselamatan pasien (patient safety) dan juga perlindungan masyarakat akibat penggunaan perbekalan farmasi yg serampangan pada hewan maupun tumbuhan”. Lanjut Subagiyo
Beberapa alasan utama yang diutarakan mengenai Urgensi pembentukan Undang-Undang Praktik Kefarmasian adalah:
Pertama, regulasi yang mengatur praktik kefarmasian yakni Peraturan Pemerintah nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dinilai tidak saja harus disesuaikan dengan perkembangan keilmuan, kebutuhan masyarakat dan perubahan sosial, melainkan pengaturan hukumnya masih menginduk pada Pasal 63 Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang sudah berumur 30 tahun dan tidak berlaku lagi.
Kedua , Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 108 ayat (1) yang mengatur praktik kefarmasian belum pernah dibuat peraturan pelaksanaannya secara tegas hingga saat ini.
Ketiga, Perkembangan praktik kefarmasian berfokus pada pasien (Pharmaceutical care) belum bisa diimplementasikan secara legal menjangkau persoalan-persoalan yang terjadi dimasyarakat.
Keempat, semakin maraknya peredaran perbekalan farmasi illegal (diluar sarana kefarmasian, online dan diluar control Apoteker).
Kelima, agar terjadi harmonisasi dengan UU pengawasan yang saat ini sedang digodok di DPR, sehingga implementasi UU Pengawasan akan diimbangi dengan implementasi UU Praktik.
“Sesuai dengan hasil Mukernas ke III FIB Januari 2021, kami berharap RUU Praktik Kefarmasian dapat segera masuk mensubtitusi RUU Kefarmasian (omnibus law) dan masuk prolegnas prioritas 2022, sehingga terbuka harapan pengakuan legal dari negara terhadap keberadaan praktik profesi Apoteker di Indonesia,” ujar Subagiyo.
Selain sebagai legalitas praktik profesi Apoteker, Undang-Undang itu nantinya juga memberi perlindungan kepada masyarakat atas pelayanan praktik Apoteker, sehingga pelayanan praktik Apoteker di Indonesia semakin baik
“Tahap berikutnya adalah menyampaikan secara resmi naskah akademik dan draf usulan RUU Praktik Kefarmasian ke Badan Legislasi dan Komisi IX DPR” pungkas Subagiyo. (Red/NW).