Majalah Farmasetika – Undang-Undang Kesehatan pertama kali lahir pada tahun 1992, dengan mencabut dua undang-undang yang sebelumnya menjadi payung hukum bagi profesi apoteker, yaitu Undang-Undang tentang Pendirian Apotek dan Undang-Undang tentang Farmasi. 32 tahun yang lalu, undang-undang lex spesialis yang mengatur apoteker ini telah dihapus, diikuti dengan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Apotek, yang digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang menandai komersialisasi praktik apoteker di apotek.
Secercah harapan muncul dengan diterbitkannya undang-undang nomor 36 tentang Kesehatan di mana pada pasal 108 mengatur pasal praktik kefarmasian. Tak butuh waktu lama pasal 108 digugat oleh Misran S.KM, seorang perawat dan Kepala Puskesmas Pembantu Kuala Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Misran menggugat Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 setelah dia pernah dihukum oleh pengadilan karena melanggar Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dengan tuduhan menyimpan dan menyerahkan obat daftar G kepada pasien tanpa resep dokter. Gugatan tersebut terdaftar di Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor 12/PUU-VIII/2010. Walaupun putusan Mahkamah Konstitusi makin memperkuat pasal 108, namun amanat pasal 108 ayat 2 tentang pengaturan praktik kefarmasian dalam peraturan pemerintah selama 15 tahun “di peti es kan”.
DINAMIKA HUKUM KESEHATAN
Dinamika hukum Undang-Undang Kesehatan di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian seiring dengan perkembangan “kebutuhan zaman”. Transformasi ini menjadi suatu keharusan guna mengakomodasi dinamika masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan, serta tantangan global di bidang kesehatan. Puncaknya, Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan omnibus law disahkan DPR pada tanggal 11 Juli 2023 dan diundangkan pada tanggal 8 agustus 2023. Terlepas dari pro kontra, hal ini merupakan sebuah langkah maju dan berani bagi dunia kesehatan di tanah air. Kelahiran Undang-undang Kesehatan dijadikan sebagai tonggak transformasi pelayanan Kesehatan. Namun, dalam proses transformasi tersebut, menjaga konsistensi hierarki dan muatan materi hukum menjadi hal yang krusial agar tujuan hukum itu sendiri dapat tercapai.
Apa yang berubah dari positioning apoteker dalam undang-undang Kesehatan? Secara garis besar ada 8 perubahan. Pertama, pengelompokan tenaga kefarmasian beserta tupoksinya yang terpartisi secara tegas antara tenaga profesi apoteker, profesi spesialis apoteker dengan tenaga vokasi farmasi. Kedua , kewenangan apoteker dalam praktik kefarmasian makin paripurna dengan masuknya kewenangan dalam pelayanan kefarmasian secara utuh. Ketiga, Penggolongan obat yang memberikan kewenangan apoteker dalam pelayanan obat dengan resep, obat keras tertentu dan obat tanpa resep. Keempat, Pembatasan pelayanan obat dengan resep harus oleh apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kelima, pengaturan pelayanan kefarmasian yang berbasis teknologi, seperti telemedicine dan telepharmacy, yang memberikan kewenangan apoteker dalam praktik apoteker berbasis digital. Keenam, Kewenangan tenaga Kesehatan melaksanakan praktik mandiri, memberikan kesempatan pada apoteker untuk melaksanakan praktik mandiri apoteker sesuai keahlian dan kewenangannya. Ketujuh, Swamedikasi Masyarakat atas obat tanpa resep di fasilitas lain (hypermarket, minimarkes dan supermarket) diperkenankan, sehingga secara filosofis swamedikasi Masyarakat di fasilitas lain dapat dilakukan secara mandiri tanpa melalui pelayanan tenaga Kesehatan. Kedelapan, Ketentuan pidana dalam praktik kefarmasian bahwa, setiap orang yang melakukan praktik kefarmasian tanpa memiliki keahlian dan kewenangan dapat dikenai denda hingga 200 juta rupiah. Jika praktik tersebut melibatkan obat keras, pelaku dapat dipidana dengan penjara hingga 5 tahun atau denda hingga 500 juta rupiah
KONSISTENSI HIERARKI HUKUM
Hierarki hukum adalah tingkatan norma hukum dari yang tertinggi hingga terendah. Di Indonesia, hierarki ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Susunannya meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan peraturan daerah. Dalam konteks undang-undang kesehatan, menjaga konsistensi hierarki hukum berarti memastikan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Pertama, memastikan amanat undang-undang yang menjadi prioritas harus diturunkan dalam peraturan pelaksanaan. Kedua, memastikan tidak menambahkan subtsansi yang tidak boleh ada dan bertentangan dengan undang-undang kesehatan. Ketiga kebijakan-kebijakan kesehatan yang dituangkan dalam peraturan menteri atau peraturan daerah harus senantiasa berpedoman pada undang-undang kesehatan yang ada, serta tidak boleh melanggar prinsip-prinsip yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Konsistensi ini penting untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah terjadinya tumpang tindih atau konflik norma hukum yang akan berdampak pada kegagalan transformasi Kesehatan.
KONSISTENSI MATERI HUKUM
Muatan materi hukum undang undang Kesehatan yang mengatur kewenangan apoteker juga perlu diperbarui dan diperkuat dalam berbagai peraturan pelaksanaan. Sesuai dengan filosofi pelayanan kefarmasian, apoteker kini tidak hanya bertanggung jawab atas pengelolaan obat, tetapi juga berperan aktif dalam pelayanan klinis, edukasi pasien, dan pemberian asuhan kefarmasian untuk memastikan masyarakat mendapatkan sediaan farmasi yang aman dan efektif. Pengaturan praktik apoteker yang berbasis teknologi, seperti telemedicine dan telepharmacy harus mendapatkan perhatian. Muatan materi hukum perlu memperhatikan aspek-aspek penting seperti pengaturan mengenai praktik apoteker secara daring, pelaksanaan farmasi klinis, serta positioning apoteker dalam tim kesehatan kolaboratif. Pengaturan ini harus mampu menjamin bahwa kewenangan yang diberikan undang-undang Kesehatan kepada apoteker tetap berada dalam koridor kompetensi profesi dan pemenuhan hak-hak pasien.
Muatan materi hukum dalam undang-undang kesehatan harus mencerminkan keseimbangan antara kepentingan publik dan dorongan untuk inovasi di bidang kesehatan. Kepentingan publik dalam hal ini mencakup hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan kefarmasian yang adil dan merata, perlindungan terhadap hak-hak pasien, serta jaminan atas ketersediaan obat dan alat kesehatan yang aman dan berkualitas. Di sisi lain, hukum juga harus memberi ruang bagi inovasi dan pengembangan teknologi kesehatan yang terus berkembang pesat, khususnya dalam implementasi praktik apoteker.
KESIMPULAN
Transformasi undang-undang kesehatan adalah langkah strategis untuk memperkuat sistem kesehatan nasional. Namun, proses ini harus dilakukan dengan hati-hati, memastikan konsistensi dengan hierarki hukum yang berlaku serta memuat materi hukum yang konsisten, relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini penting agar undang-undang kesehatan tetap menjadi instrumen yang efektif dalam menjaga kesehatan masyarakat dan mendukung inovasi di bidang kesehatan.
Transformasi kewenangan apoteker dalam undang-undang kesehatan juga merupakan langkah penting untuk meningkatkan peran apoteker dalam sistem kesehatan modern. Syaratnya, transformasi ini harus mempertahankan konsistensi dalam hierarki hukum dan memastikan muatan materi hukumnya relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman. Dengan pendekatan yang tepat, apoteker dapat berkontribusi lebih besar dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Inkosistensi dalam hirarki dan muatan materi Undang-Undang Kesehatan pada peraturan pelaksanaan dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap undang-undang itu sendiri. Hal ini terjadi ketika peraturan pelaksanaan tidak sejalan dengan prinsip dan tujuan yang telah diatur dalam undang-undang, yang pada akhirnya dapat melemahkan efektivitas undang-undang kesehatan dan merugikan kepentingan masyarakat.