Farmasetika.com – Kebutuhan terhadap produk-produk darah secara nasional semakin meningkat, namun kondisi saat ini untuk harga produk derivat plasma yang digunakan di Indonesia masih sangat mahal dan berasal dari impor.
WHO dan Badan POM dukung regulasi produk darah
Kondisi kesulitan akses terhadap produk darah secara global, terutama terhadap produk derivat plasma di negara-negara berkembang melatarbelakangi dikeluarkannya resolusi WHO 63.12 mengenai “Availability, Safety, & Quality of Blood Products” oleh WHO pada tahun 2010.
Hal ini pula yang mendasari keterlibatan Indonesia dalam “Achilles Project” pada tahun 2012 – 2014 sebagai upaya peningkatan akses darah dan produk darah yang aman dan berkualitas di negara berkembang.
Selaras dengan Inpres No 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan serta adanya Satgas untuk Percepatan Pengembangan dan pemanfaatan Produk Biologi, Badan POM selaku bagian dari pemerintah mendorong UTD PMI bersinergi dengan Kementerian BUMN mewujudkan berdirinya industri fraksionasi plasma di Indonesia. Selain demi tercapainya suplai yang kontinu untuk kemandirian produk darah, Indonesia kelak diharapkan dapat bermain pula di pasar global. Industri fraksionasi plasma dapat didukung dengan adanya sumber bahan baku plasma yang berkualitas dan memenuhi persyaratan CPOB.
Darah dan Produk Derivat Plasma
Darah adalah materi biologis yang hidup dan tidak dapat diproduksi di luar tubuh manusia. Darah dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi produk farmasi yang sangat berguna dalam pengobatan. Produk darah telah dikategorikan oleh WHO sebagai obat essensial. Darah yang tidak berkualitas dapat menyebabkan risiko penularan penyakit. Ketersediaan darah didukung oleh adanya donor darah sukarela.
Fraksionasi Plasma adalah pemilahan derivat plasma menjadi produk plasma dengan menerapkan teknologi dalam pengolahan darah. Industri Fraksionasi Plasma adalah industri farmasi milik negara yang memiliki izin dan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melakukan kegiatan fraksionasi plasma. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2015, tentang Fraksionasi Plasma, bahwa industri fraksionasi plasma harus memanfaatkan bahan baku plasma yang berkualitas berasal dari UTD yang telah memiliki izin dan sertifikasi. Produk Derivat Plasma meliputi :
- faktor VIII,
- faktor IX,
- faktor Von Willebrand,
- fibrinogen,
- globulin,
- albumin,
- alpha 1 antitripsin, dan
- fraksi protein plasma lain.
Sehingga dalam rangka penyediaan kebutuhan produk plasma, salah satu hal penting adalah ketersediaan Unit Transfusi Darah (UTD) dan pusat Plasmaferesis dalam menyediakan bahan baku plasma yang berkualitas bagi industri-industri fraksinasi plasma.
Kewenangan dan Komitmen Badan POM
Kewenangan Badan POM dalam melakukan pengawasan penyediaan darah dan pemenuhan persyaratan CPOB oleh UTD, Pusat Plasmaferesis dan Industri Fraksionasi telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 83 Tahun 2014 tentang Unit Transfusi Darah, Bank Darah Rumah Sakit, dan Jejaring Pelayanan Transfusi; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2015 tentang Fraksionasi Plasma; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 91 Tahun 2015 tentang Pelayanan Transfusi Darah; Peraturan Kepala Badan POM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Penerapan Pedoman CPOB di Unit Transfusi Darah dan Pusat Plasmaferesis; serta Kesepakatan Bersama antara Badan POM dan PMI tentang Kerja Sama dalam Peningkatan Mutu Produk Darah.
Badan POM juga senantiasa mendukung kemudahan perizinan dalam produksi obat dan produk biologis. Kepala Badan POM, Penny K Lukito dalam kegiatan “Dukungan Kemandirian Bahan Baku Obat dan Pencanangan Komitmen Konsorsium Vaksin dan Produk Biologi Lainnya” pada 13-14 Desember 2018 di Jakarta mengatakan, “Pengembangan dan perbaikan terhadap aspek sertifikasi ini merupakan upaya kami untuk mendukung kemudahan perizinan obat di Indonesia.
E-sertifikasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan efektivitas pelayanan publik BPOM. Sementara pemutakhiran Pedoman CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), selain digunakan untuk standar pengawasan, pastinya juga untuk terus meningkatkan daya saing produk obat dan produk biologi Indonesia,”
Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman (POPP) CPOB di Unit Transfusi Darah (UTD) Dan Pusat Plasmaferesis (2018)
Disamping telah menyediakan pedoman atau CPOB di Unit Transfusi Darah (UTD) dan Pusat Plasmaferesis melalui PerKa Badan POM Nomor 10 Tahun 2017, ditahun 2018 kembali Badan POM mengeluarkan pedoman prosedur berupa Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman (POPP) CPOB di Untit Transfusi Darah (UTD) dan Pusat Plasmaferesis yang berguna sebagai pedoman dalam membantu personel di UTD dan Pusat Plasmaferesis dalam memenuhi sistem mutu dan memudahkan pemahaman/interpretasi dalam menerapkan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Selain itu juga POPP CPOB di Unit Transfusi Darah (UTD) dan Pusat Plasmaferesis dapat digunakan oleh inspektur dari Badan POM dalam mengawasi maupon para pemangku kepentingan yang terkait.
Lebih lanjut, sebagai upaya dan komitmen Badan POM mempercepat sertifikasi CPOB di UTD dan Pusat Plasmaferesis, Badan POM menyelenggarakan Forum Komunikasi Lintas Sektor Percepatan Sertifikasi CPOB UTD Tahun 2019 di Jakarta (8/7/2019) yang dibuka oleh Kepala Badan POM, Penny K. Lukito dan dihadiri oleh beberapa Kepala BBPOM dan stake holder terkait yaitu pengurus PMI Pusat, beberapa pimpinan daerah selaku pengurus PMI di daerah, serta Kepala UTD PMI yang siap melakukan sertifikasi di tahun 2019.
Sumber :
Peraturan Pemerintah. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Darah. Jakarta : Lembaran Negara RI.
Badan POM. 2018. Siaran Pers Bimtek CPOB Di Unit Tranfusi Darah, Jamin Ketersediaan Mutu Dan Keamanan Darah. Tersedia online di https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/420/SIARAN-PERS-BIMTEK-CPOB-DI-UNIT-TRANFUSI-DARAH–JAMIN-KETERSEDIAAN-MUTU-DAN-KEAMANAN-DARAH.html (diakses 10 November 20190).
Penulis : Rain Kihara Boangmanalu, Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran