Majalah Farmasetika – Beredar di media sosial surat Somasi/Peringatan dari Lembaga Perlindungan Konsumen – Republik Indonesia (LPK – RI) untuk Apotek Beji Farma di Tulungagung, Jawa Timur dikarenakan dianggap telah menjual obat keras (diluar Daftar Obat Wajib Apotek) kepada konsumen tanpa resep dokter.
Surat somasi dari LPK-RI
Surat somasi nomor 045/DPP/LPK-RI/V/2022 dikeluarkan oleh Dewan Pengurus Pusat LPK-RI yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum LPK-RI tertanggal 5 Mei 2022.
LPK-RI merupakan lembaga non-pemerintah yang didirikan berdasarkan amanat Undang-Undang No 8 tahun 199 tentang perlindungan konsumen, mempunyai kegiatan menangani permasalahan perlindungan konsumen.
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Apotek Beji Farma telah melanggar pasal 24 huruf c Peraturan Pemerintah RI tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang menyatakan
“Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Apoteker dapat :
c. Menyerahkan Obat Keras, Narkotika, dan Psikotropika kepada masyarakat atas Resep dari Dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Tertulis dalam surat tersebut bahwa LPK-RI menegur (mensomasi) apotek Beji Farma agar jangan menjual obat keras (diluar Daftar Obat Wajib Apotek tanpa resep dokter.
Masyarakat Farmasi Indonesia Protes Keras Minta Klarifikasi
Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI) mengeluarkan surat 99/MFI-L/V/2022 perihal Protes Keras dan Permintaan Klarifikasi yang ditujukan kepada Dewan Pengurus Pusat LPK-RI menyikapi surat somasi yang dikeluarkan LPK-RI untuk Apotek Beji Farma tertanggal 10 Mei 2022.
Dalam surat yang diterima redaksi (11/5/2022), MFI memandang LPK-RI prematur dalam menyimpulkan dan menetapkan Apotek Beji telah melanggar pasal 24 huruf C , PP No.51 tahun 2009, yang berbunyi “Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat : c. menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan”.
MFI berpendapat bahwa pasal pasal 24 huruf C PP No.51 tahun 2009, hanya dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan , yaitu:
- Untuk penyerahan obat keras / daftar G (gevaarlijk) oleh Apoteker dijamin oleh Ordonansi Obat Keras / UU Obat Keras ( St. NO. 419 / tgl 22 Desember 1949 ) pasal 3 ayat 1 ; “Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker, yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan”.
- 43 Hari setelah PP 51 Tahun 2009 diterbitkan, UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga disahkan, Pada pasal 102 ayat 1 menegaskan bahwa ; “Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan”.
- UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 43 ayat 3 menegaskan : “Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
- UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 14 ayat 4 menegaskan : “Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter”
- Untuk golongan psikotropika menggunakan penandaan untuk obat keras, hal ini karena sebelum diundangkannya UU RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika, maka obat-obat Psikotropika termasuk obat keras yang pengaturannya ada di bawah Ordonansi Obat Keras / UU Obat Keras (St. NO. 419 / tgl 22 Desember 1949), hanya saja karena efeknya dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan sehingga disebut Obat Keras Tertentu.
- Bahwa Penandaan Obat Keras Daftar G yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.02396/A/SK/ lll/86 dan Keharusan mencantumkan Kalimat “Harus dengan resep dokter” yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977, tidak serta merta menghilangkan kewenangan profesional Apoteker dalam memberikan pelayanan obat keras kepada masyarakat baik atas resep dokter maupun tanpa resep dokter.
- UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 108 ayat (1) jo Keputusan MK No.12/PUU-VIII/2010, menegaskan bahwa “Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal ini menunjukkan praktik kefarmasian dalam hal kewenangan memberikan pelayanan obat keras kepada masyarakat baik atas resep dokter maupun tanpa resep dokter musti dilakukan melalui Pelayanan Informasi Obat (KIE) dan dibawah supervisi apoteker.
- Peraturan Menteri Kesehatan No.919/MENKES/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang dapat diserahkan tanpa resep, telah memberikan rambu tambahan bagi apoteker untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan (swamedikasi), yaitu peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional. dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
- PP No.47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas: (e). apotek; dimana definisi Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative.
- Obat yang wajib diperoleh dengan resep dokter melalui pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan adalah Golongan Narkotika dan Obat Keras tertentu golongan Psikotropika
- Pelayanan obat keras kepada masyarakat baik atas resep dokter maupun tanpa resep dokter musti dilakukan di fasilitas pelayanan kefarmasian yang legal di fasilitas pelayanan kesehatan melalui Pelayanan Informasi Obat (KIE) dan dibawah supervisi apoteker.
Kedua, Apabila LPK-RI memang benar merupakan Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat resmi sesuai pasal 30 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memang berhak melakukan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar, termasuk obat dan makanan. Namun dalam menyelengarakan pengawasan, musti memahami dengan detail objeck yang di awasi. Caranya dengan berkoordinasi dengan Lembaga pengawas pemerintah dan/atau organisasi profesi. Landasan hukumnya adalah ;
- Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 182, pembinaan dilakukan terhadap upaya kesehatan, termasuk pada pendayagunaan tenaga kesehatan dan masyarakat.
- Dalam Peraturan Presiden No.80 tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM), Pasal 1 menegaskan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahaa di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
- Dalam PP No.47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 26, ayat 1 menetapkan Menteri, gubernur, dan bupati/walikota melakukan pembinaan terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
- Dalam PP No.47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 26, ayat 5 menegaskan bahwa Menteri, gubernur, dan bupati/walikota dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat mengikutsertakan asosiasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan organisasi profesi Tenaga Kesehatan.
- Dalam UU No.36 Tahun 2009 pasal 188 , menegaskan bahwa Menteri melalui Pemerintah daerah atau dinas kesehatan termasuk yang berhak memberikan sanksi administrasi. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
6. Dalam Peraturan Presiden No.80 Tahun 2017 tentangBadan Pengawas Obat Makanan (BPOM) , pada pasal 4 ayat 3 menegaskan bahwa BPOM berhak memberikan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Dalam berpraktik, seorang apoteker diwajibkan memenuhi kode etik dan standar profesi apoteker yang telah ditetapkan organisasi profesi agar seorang apoteker memiliki seluruh kompetensi yang relevan untuk mejalankan perannya dan mampu memberikan pelayanan kefarmasian sesuai ketentuan tentang praktik kefarmasian.
8. Apabila terdapat apoteker yang melaksanakan praktik tidak sesuai dengan kode etik dan Standar profesi Apoteker Indonesia, maka Organisasi Profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) setempat yang berhak menyelidiki dan mengeluarkan sanksi administratif melalui sidang MEDAI, bila terbukti.
9. Sesuai UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hasil pengawasan LPK-RI dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis terkait, bila terbukti membahayakan konsumen dan melanggar peraturan perundangan. Namun tidak dengan main hakim sendiri tanpa koordinasi.
10. Kesimpulannya, Tindakan LPK-RI memberikan somasi kepada Apotek Beji dianggap telah melanggar Tupoksi Menteri Kesehatan, BPOM dan Organisasi Profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Ketiga, Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI) bersikap :
- Memprotes keras surat somasi LPK-RI ke Apotek Beji
- Menuntut klarifikasi detail, termasuk motivasi LPK-RI melakukan somasi
- Meminta LPK-RI meminta maaf kepada apotek dan apoteker yang bersangkutan secara langsung.
- Meminta LPK-RI meminta maaf kepada seluruh Apoteker Indonesia, Organisasi Profesi Ikatan Apoteker Indonesia dan Masyarakat Farmasi Indonesia melalui 2 media cetak dan 3 media online.
- Mencabut Kembali surat somasi melalui surat pencabutan somasi.
- MFI menunggu itikad baik LPK-RI untuk melaksanakan poin 3 s/d 5 dalam 3×24 jam.
Surat tanggapan ini ditandatangani langsung oleh ketua MFI Brigjend Pol (P) Drs. Apt. Mufti Djusnir, MSi.