Majalah Farmasetika (V2N1-Januari 2017)- Rubrik Opini. Statemen mendasar tujuan bernegara adalah komitmen kesejahteraan bagi seluruh warga bangsa. Termasuk di dalamnya adalah jaminan dalam pelayanan kesehatan yang bermutu; baik melalui alat dan bahan, mekanisme maupun tenaga-tenaga kesehatan yang berkenaan.
Farmasi menjadi instrumen inti bagi Apoteker dalam berpartisipasi dan berkontribusi dalam tatanan bersosial.
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes/PMK) nomor 31 yang di release Tahun 2016 tampak gagap merespon UU36/2014 setelah sejumlah gelombang tekanan yang mendera Pemerintah dari berbagai sisi. Pergulatan kepentingan tampak sangat kental.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam pelayanan kefarmasian di mana kita berada di dalamnya ?
Sudah sedemikian tidak berdayakah kita mengadvokasi layanan publik yang menjadi beban dan tanggungjawab Pemerintah ?
Komitmen Apoteker
Apoteker sebagai entitas profesi tertuntut untuk memberikan komitmen kepada publik. Seberapa besar kebutuhan publik atas layanan Apoteker, jelas tergambar dalam berbagai bentuk perilaku. Tingginya permintaan *obat keras* (baca: antibiotik dan sejenisnya) tanpa melalui resep dokter yang kemudian dilayani oleh petugas apotek tanpa background pendidikan yang dapat dibenarkan atau sebagian besar rantai pekerjaan dikuasai oleh Sistem/Pemilik, jelas-jelas menunjukkaan rendahnya kepedulian Apoteker dalam upaya keselamatan dan rasionalitas penggunaan obat atas masyarakat.
Suatu komitmen profesi selayaknya tidak hanya ditagih kepada individu-individu dengan jargon Praktik Apoteker Bertanggungjawab dimana kondisi makro tidak terdesain secara matang. Dari perspektif sosiologis, setiap orang pada dasarnya adalah pelaku dari tatanan sosial. Anarkhisme terjadi saat suatu kekuatan memainkan peran kepentingan tertentu pada saat terjadi kekosongan tatanan atau pada saat tatanan tidak terbentuk.
Mari kita lihat fenomena. Apakah ada kepedulian Sistem terhadap merebaknya peredaran obat di luar jalur resmi ? Apakah Pemerintah saja yang kita minta untuk menegakkan low enforcement sementara profesi ini tidak melakukan rekayasa sosial pekerjaan apapun untuk mengendalikan situasi ? Pernahkah kita mengkondisikan dengan suatu tatanan instrumen tertentu yang dimiliki agar fakta-fakta sosial bergeser ke idealisme profesi ?
Komitmen profesi pada individu Apoteker bukan partikular melainkan harus menjadi bagian dari konstruksi Sistem Utuh yang terjaga dan terpelihara dalam kekokohan. Tidaklah mungkin perilaku sosial dapat dibangun dari serpihan komitmen rapuh yang tercerai-berai. Apalagi jika konsep tersebut benar-benar tidak ada. Malapetaka panjang tentu masih akan berlangsung. Entah sampai kapan…