Majalah Farmasetika – Organisasi profesi kesehatan termasuk Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap beberapa poin yang kontroversial dalam Undang-Undang Kesehatan dan menuai protes.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU) pada hari Selasa (11/7). Mayoritas fraksi di DPR, termasuk PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, dan PAN, menyetujui pengesahan RUU Kesehatan tersebut. Namun, Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak pengesahan tersebut.
Sebagai tanggapan, lima organisasi profesi kesehatan mengadakan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI dan berencana untuk mogok kerja sebagai protes terhadap pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU. Majalah Farmasetika merangkum beberapa alasan penolakan terhadap UU Kesehatan ini sebagai berikut:
1. Penghilangan Mandatory Spending
UU Kesehatan menghapus ketentuan mengenai mandatory spending atau pengeluaran wajib. Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur bahwa 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji harus dialokasikan untuk kesehatan. Penghilangan ketentuan ini bertujuan agar belanja kesehatan didasarkan pada komitmen anggaran pemerintah, sehingga program-program strategis dalam sektor kesehatan dapat berjalan secara maksimal.
2. Liberalisasi Tenaga Kesehatan WNA
UU Kesehatan membuka pintu bagi tenaga kesehatan WNA untuk bekerja di fasilitas kesehatan di Indonesia. Selain itu, persyaratan kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kesehatan WNA juga dihapuskan. Sebelumnya, kemampuan berbahasa Indonesia dianggap penting untuk menyesuaikan diri dengan pasien di Indonesia yang mayoritas berasal dari kelas menengah. Dengan adanya perubahan ini, dianggap bahwa kebijakan tersebut hanya menguntungkan pasien dari kalangan menengah ke atas.
3. Surat Tanda Registrasi (STR) Berlaku Seumur Hidup
Melalui UU Kesehatan, sertifikat registrasi (STR) bagi tenaga kesehatan dan tenaga medis yang biasanya perlu diperpanjang setiap lima tahun, akan berlaku seumur hidup seperti halnya ijazah. STR tetap akan dikeluarkan oleh Konsil, tetapi Konsil tersebut akan menjadi satu kesatuan integrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
4. Penghapusan Rekomendasi Organisasi Profesi dalam Penerbitan Surat Izin Praktik (SIP)
UU Kesehatan menghapus persyaratan rekomendasi organisasi profesi dalam penerbitan Surat Izin Praktik (SIP). Sementara dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, terdapat tiga syarat untuk menerbitkan SIP, yaitu memiliki STR aktif, tempat praktik, dan rekomendasi dari organisasi profesi. Namun, dalam UU Kesehatan, syarat tersebut hanya terdiri dari memiliki STR dan tempat praktik.
5. Potensi Penyalahgunaan Data Genomik WNI
Organisasi profesi juga mengkhawatirkan aturan tentang transfer data yang terkandung dalam UU Kesehatan. Pasal 338 draf final RUU Kesehatan menyebutkan tentang pemanfaatan teknologi biomedis, termasuk teknologi genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik terkait organisme, jaringan, sel, biomolekul, dan teknologi biomedis lainnya. Data tersebut harus disimpan dan dikelola dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data jangka panjang oleh biobank atau biorepositori. Pasal 340 juga mengatur tentang pengalihan dan penggunaan data tersebut di luar wilayah Indonesia, dengan memperhatikan prinsip pemeliharaan kekayaan sumber daya hayati dan genetika Indonesia. Meskipun pengambilan data memerlukan persetujuan dari pasien atau pendonor, beberapa pengecualian mengenai persetujuan tersebut telah diatur.
6. Obat Tanpa Resep bisa Diperoleh diluar Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
Pasal 320 ayat 6 semula Obat tanpa resep diperoleh dari fasilitas pelayanan kefarmasian atau fasilitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Usulan IAI berubah menjadi Obat bebas diperoleh dari fasilitas pelayanan kefarmasian atau fasilitas lain dengan penanggungjawab tenaga vokasi farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Praktik Kefarmasian bisa dilakukan oleh Non Tenaga Kefarmasian
Pasal 145 ayat 3 semula berbunyi Dalam kondisi tertentu, praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Tenaga Kesehatan lain secara terbatas selain tenaga kefarmasian. IAI mengusulkan menjadi Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien, (berdasarkan hasil Judicial Review Nomor 88/PUU-XIII/2015).
8. Penambahan telefarmasi, pemastian mutu, alat kesehatan, pelayanan obat dalam Praktik Kefarmasian
Pasal 145 ayat 2 semula berbunyi Praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, produksi, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penelitian, dan pengembangan sediaan farmasi, serta pengelolaan dan pelayanan kefarmasian. IAI mengusulkan menjadi praktik kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang meliputi produksi termasuk pemastian mutu, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, peracikan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, pengelolaan dan pelayanan kefarmasian, pelayanan obat, pelayanan telefarmasi, serta penelitian dan pengembangan kefarmasian.
9. Unsur Farmasi tidak termasuk dalam Struktur organisasi Rumah Sakit
Pasal 186 ayat 1 semula: Struktur organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas unsur pimpinan, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis dan nonmedis, unsur pelaksana administratif, dan unsur operasional. IAI meminta menjadi Struktur organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas unsur pimpinan, unsur pelayanan medis, unsur kefarmasian, unsur keperawatan, unsur penunjang medis dan nonmedis, unsur pelaksana administratif, dan unsur operasional (Perubahan struktur RS mengacu pada PP 47 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumah Sakitan).
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menghargai perbedaan pendapat dalam pembahasan RUU Kesehatan yang telah disahkan menjadi UU ini. Ia menyatakan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, dan dia terbuka untuk mendengarkan keluhan serta menyampaikan pendapat.