Majalah Farmasetika – Gerakan Farmasis Milenial Indonesia (GFMI) menuntut keadilan dan transparansi hasil Ujian Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) Computer Based Test (CBT) periode agustus 2022. Menurut data GFMI, sekitar 50-70% peserta UKAI periode ini yang tidak lulus di berbagai institusi apoteker.
GFMI dalam rilis yang diterima redaksi (1/9/2022) merupakan organisasi komunitas yang mewadahi kepentingan para calon Apoteker dan Apoteker Muda dalam merajut persatuan dan dalam memperjuangkan hak-hak profesi Apoteker
Seperti diketahui bersama, Apoteker merupakan salah satu profesi tenaga Kesehatan yang cukup diminati oleh kalangan masyarakat. Untuk menjadi seorang Apoteker, harus mengikuti Pendidikan S1 Farmasi terlebih dahulu kemudian melanjutkan Pendidikan Profesi Apoteker selama 1 tahun dan mengikuti UKAI sebagai penentu kelulusan seorang apoteker untuk dapat bekerja secara legal.
“Realitanya yang terjadi UKAI menjadi momok menakutkan bagi para calon Apoteker untuk bisa menyandang gelar terhormat tersebut” kutipan yang diambil dari salah satu postingan akun @gfmi.official yang menuntut adanya keadilan untuk mereka yang dipersulit dalam kelulusan Ujian Apoteker dengan memviralkan tagar #evaluasiukai2022 dan #savecalonapoteker di media Instagram dan Twitter.
“GFMI menilai polemik permasalahan UKAI ini akan selalu terjadi dan memang UKAI ini harus dievaluasi secara menyeluruh dari sistem, konsep hingga pelaksanaan dengan mengacu Permendikbud No 2 Th 2020 tentang tata cara pelaksanaan UKOM kesehatan karena ini menyangkut kepentingan banyak calon Apoteker, kami menampung aspirasi lebih dari 2000 Mahasiswa Apoteker di periode ini yang menuntut transparansi hasil UKAI periode agustus 2022” Ujar Andri Azhari penggagas GFMI dalam keterangan resmi secara online .
GFMI mengaku ada sekitar 50-70% peserta UKAI periode ini yang tidak lulus di berbagai institusi apoteker.
Menurutnya, permasalahan UKAI ini terjadi berawal dari tidak adanya informasi standarisasi kelulusan yang harus dicapai oleh mahasiswa Apoteker sejak awal, berujung pada kenaikan standar kelulusannya atau Nilai Batas Lulus dari 52,50 menjadi 56,50.
Dalan press rilisnya dijelaskan, hal tersebut membuat kekecewaan para calon Apoteker karena menurut mereka informasi yang diketahui sejak awal adalah NBL 52,50 untuk acuan minimal kelulusan dan aturan penentuan standar tersebut yang tidak memiliki landasan yang jelas sehingga mereka merasa hal ini merugikan bagi mereka yang telah berjuang sejak awal perkuliahan menghabiskan banyak waktu dan uang namun menjadi sia-sia karena dipatahkan dengan kenyataan UKAI yang menyebabkan mereka tidak lulus dan tidak dapat menyandang gelar Apoteker.
“Saya rasa polemik ini bukan hanya calon apoteker yang dirugikan tapi juga negara dan masyarakat, karena negara dan masyarakat hari ini masih membutuhkan banyak keberadaan seorang Apoteker yang bisa mengedukasi terkait Obat-obatan, bisa kita survey jumlah Apoteker sekarang dilapangan, jika pihak penyelenggara mempersulit kelulusan Apoteker ini ya sama saja dengan tidak mendukung kebutuhan negara dan masyarakat” ungkap Dani yg juga penggagas GFMI dalam keterangan resmi secara online .