Farmasetika.com – Indonesia adalah negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, namun ternyata juga salah satu penyumbang terbesar sampah setelah RRC.
Penelitian Sampah Plastik dari Bungkus Makanan
Berita paus sperma yang menelan hampir enam kilogram sampah plastik di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, beberapa waktu lalu seyogyanya mengusik kesadaran kita semua.
Menurut Paulius Pavelas Danilovas, peneliti di Kaunas University of Technology (KTU), Lithuania, hampir 50 persen sampah makanan berasal dari kemasan makanan. Sementara kemasan makanan pada umumnya terbuat dari berbagai jenis plastik, yang diproduksi dari sumber tak terbarukan dan non-biodegradable (tak dapat terurai secara alami).
Untuk itulah para peneliti dari KTU tengah mengembangkan bahan kemasan makanan yang dapat mempertahankan kesegaran makanan. Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, inovasi ini membantu mengurangi limbah kemasan sekaligus mengurangi penyakit akibat makanan.
Solusi Sampah Biodegradable
Tim peneliti yang dipimpin oleh Danilovas menyelidiki solusi teknologi untuk kemasan pangan dari komposit selulosa, diperkaya dengan komponen aktif. “Tujuan kami adalah untuk menciptakan kemasan biodegradable, yang dapat membantu menjaga kesegaran makanan, yang dapat memiliki sifat antioksidan atau antimikroba”, ujar Danilovas.
“Komponen aktif dari minyak cengkeh eter sangat efektif mengikat radikal bebas; minyak ini terbukti efisien dalam memperkaya kemasan dengan sifat antioksidan. Efek ini membantu menjaga makanan segar lebih lama, tapi kemasan itu tidak antimikrobial. Untuk mendapatkan efek antimikrobial, kami menambahkan partikel perak ionik pada kemasan berbasis selulosa. Hasil yang kami dapatkan sangat di luar dugaan, partikel perak membuat kemasan film lebih elastis dan lebih kuat”, tutur Danilovas.
Lapisan yang diperkaya dengan perak dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan sifat antimikrobanya tetap aktif dalam waktu yang lama. Menurut Danilovas, adalah tantangan yang besar untuk mengembangkan kemasan pangan dari selulosa karena selulosa tidak memiliki sifat termoplastik sementara metode termal sering kali digunakan.
“Kami sangat menantikan penemuan komposit, yang tidak hanya memungkinkan selulosa berada dalam keadaan cair, tapi juga tidak beracun, yang sangat penting dalam semua produk terkait penanganan makanan”, ujar peneliti KTU ini. Kemasan selulosa modifikasi terdegradasi di alam dalam waktu sekitar dua tahun. Produk kemasan pangan biodegradable aktif ini dapat menggantikan kemasan plastik yang tidak dapat didaur ulang.
Label dari Laser
Dalam kehidupan sehari-hari, tak dapat dipungkiri bahwa banyak aktivitas kita termasuk makan dan minum yang menghasilkan sampah. Bila tidak diolah dengan baik, hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan.
Swedia dikenal dengan manajemen pengolahan sampah yang sedemikian efisien, dan bahkan mengimpor sampah dari negara-negara tetangganya untuk digunakan sebagai sumber energi. Regulasi di negara Skandinavia ini mengharuskan masyarakat, dan bahkan turis yang menginap di hotel untuk melakukan pemilahan sampahnya masing-masing.
Supermarket di Swedia sedang melakukan uji coba untuk menggantikan stiker label pada buah dan sayuran dengan penandaan laser. Uji coba ini dimulai dengan kentang dan alpukat. Meskipun tampak kecil, upaya mengurangi penggunaan stiker label dapat menghemat plastik, energi dan emisi karbondioksida. Perusahaan buah dan sayuran Belanda Nature & More dan supermarket Swedia ICA bekerja sama melakukan uji coba ini.
Teknik ini menggunakan cahaya kuat untuk memindahkan pigmen dari kulit buah atau sayur. Tanda ini akan tak terlihat begitu kulit dikupas dan tidak mempengaruhi waktu kadaluarsa atau kualitas pangan. Menurut Peter Hagg, ICA Business Unit Manager, teknik ini dapat menghemat 200 km plastik seukuran 30 cm. Teknologi laser juga menghasilkan kurang dari 1% emisi karbon yang diperlukan untuk membuat sebuah stiker dengan ukuran serupa.
Langkah selanjutnya adalah menerapkan teknik ini pada buah yang kulitnya dapat dimakan seperti apel. Supermarket Inggris M&S telah mencobanya pada jeruk, namun kemampuan kulit jeruk untuk memulihkan diri sendiri menyebabkan tanda laser tidak begitu efektif.
Teknologi ini relatif cukup mahal untuk saat ini namun merupakan salah satu upaya investasi jangka panjang dalam rangka menghemat sumber daya dan energi. Pada akhirnya kesadaran tentang lingkungan diharapkan akan mendorong konsumen untuk berbelanja lebih cermat serta mempertimbangkan dampak lingkungan demi masa depan.
Kesimpulan
Paradigma saat ini, keamanan makanan diperhatikan sedemikian rupa from farm to table. Namun ke depan, paradigma tersebut boleh jadi akan semakin berkembang menjadi from farm to farm. Perhatian terkait keamanan makanan akan berupa siklus berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek lingkungan dan kesehatan di samping aspek keamanan makanan.
Referensi
- https://www.antaranews.com/berita/773230/saat-ikan-paus-terdampar
- https://en.ktu.edu/news/biodegradable-packages-will-keep-your-food-fresh/
- https://www.theguardian.com/sustainable-business/2017/jan/16/ms-and-swedish-supermarkets-ditch-sticky-labels-for-natural-branding