Majalah Farmasetika – Mulai dari permulaan abad 20 hingga masa kini penggunaan obat-obat sintetik masih menjadi pilihan utama para tenaga medis dalam melakukan upaya kuratif terhadap berbagai penyakit yang diderita masyarakat.
Namun, seringkali obat-obatan tersebut memberikan hasil yang berbeda antara satu individu dengan individu lainnya meski diperuntukkan bagi penyakit atau gejala yang sama. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi, salah satunya ialah faktor yang berasal dari pasien itu sendiri.
Pada umumnya, dokter meresepkan obat berdasarkan data-data pasien seperti usia, berat badan, gender, serta riwayat medis pasien, namun dalam hal ini, genetik juga memiliki peran penting dan perlu dimasukkan ke dalam daftar pertimbangan ketika merumuskan sebuah terapi. Variasi genetik tidak hanya bertanggung jawab dalam memunculkan ciri khas fisik seseorang, namun variasi genetik juga menjadi salah satu penyebab munculnya beragam perbedaan respon tubuh pasien dalam menjalani suatu pengobatan.
Terjadinya variasi genetik pada masing-masing pasien biasanya disebabkan karena adanya mutasi baik berupa delesi (pengurangan basa nitrogen), duplikasi (penggandaan basa nitrogen), ataupun hal lainnya (Radji, 2005). Oleh karenanya, peranan farmakogenomik akan semakin dibutuhkan di masa kini dan masa mendatang.
Apa Itu Farmakogenomik?
Farmakogenomik adalah turunan dari ilmu farmakologi yang berfokus pada penelitian mengenai bagaimana variasi genetik berpengaruh pada respon tubuh yang ditimbulkan terhadap suatu terapi (CDC, 2018). Hal ini berkaitan erat dengan efektivitas atau keberhasilan terapi tersebut.
Konsep dasar farmakogenomik pertama kali ditemukan oleh Phytagoras sekitar tahun 510 SM dimana ia mengamati bahwa ada keterkaitan antara bahaya konsumsi kacang fava yang dapat menyebabkan anemia hemolitik dengan variasi genetik seseorang. Hal tersebut dibuktikan dengan kejadian anemia hemolitik setelah konsumsi kacang fava yang terjadi secara parsial (tidak berlaku untuk semua orang).
Selanjutnya diketahui bahwa hal tersebut disebabkan karena defisiensi enzim G6PD (Glucose-6-phospate dehydrogenase) yang berperan dalam menjaga kinerja eritrosit dan bertugas melindungi eritrosit dari kerusakan dini (Medline Plus, 2017).
Meski telah ditemukan berabad-abad lalu, istilah ‘farmakogenetik’ baru digunakan pada tahun 1959, dimana istilah tersebut digagas oleh Friedrich Vogel yang menemukan adanya hubungan antara variasi fenotipe dalam metabolisme dan respon tubuh terhadap obat tertentu. Kemudian sekitar tahun 1990, digunakan istilah yang lebih modern, yani ‘farmakogenomik’ sebagai perkembangan dari farmakogenetik (Pirmohamed, 2001).
Bagaimana variasi genetik dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap obat ?
Pada umumnya, obat yang digunakan melalui jalur oral akan mengalami proses metabolisme di hati. Proses ini berkaitan dengan enzim yang ada di organ hati, salah satunya bernama enzim CYP2D6. Proses metabolisme ini dapat mempengaruhi ketersediaan dan aktivitas obat dalam tubuh sehingga obat dapat menjadi lebih aktif atau justru menjadi cukup lemah.
Misalnya kodein, analgetik opiat ini akan diubah menjadi bentuk aktifnya selama proses metabolisme menjadi morfin oleh enzim CYP2D6 (National Institute of General Medical Sciences, 2020). Namun, gen pengkode enzim ini diketahui telah banyak mengalami polimorfisme dengan lebih dari 70 varian alelik sehingga melahirkan berbagai variasi genetik dengan respon metabolism yang berbeda-beda (Bertilsson dkk., 2002).
Beberapa diantaranya mengkodekan enzim yang tidak aktif sama sekali, dan beberapa gen lain justru mengkodekan enzim dengan aktivitas yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan respon tubuh terhadap satu jenis obat yang sama, yakni kodein. Sehingga diperlukan pertimbangan dosis yang berbeda untuk kondisi genetik yang berbeda.
Mengapa farmakogenomik dibutuhkan ?
Dapat dijadikan dasar dalam pengembangan obat baru
Salah satu problematika pengembangan obat baru ialah terbatasnya penemuan target kerja obat sehingga hal ini memperlambat penemuan obat-obat baru (Radji, 2005). Dalam famakogenomik, gen dan protein manusia banyak diteliti, sehingga dapat dibuat suatu prediksi mengenai protein atau gen tertentu yang dapat dijadikan target atau reseptor zat kimia tertentu. Disamping itu, beberapa penyakit muncul akibat adanya kelainan genetik, hal ini dapat menjadi dasar pertimbangan desain obat baru untuk mengatasi berbagai penyakit genetik tersebut.
Realisasi pengobatan personalized medicine
Adanya beragam perbedaan respon yang muncul terhadap satu jenis pengobatan, tren pengobatan kini mulai bergeser ke arah personalized medicine. Gaya pengobatan ini menggunakan informasi genetik pasien dalam memutuskan terapi yang tepat untuk dijalani pasien. Dalam pengobatan ini, penentuan dosis dan jenis obat dapat dioptimalkan sesuai kondisi dan variasi genetik pasien. Tidak hanya berlaku dalam hal pengobatan, informasi genetik tersebut juga berperan dalam penyusunan rencana pencegahan penyakit serta meminimalisir terjadinya keparahan penyakit.
Terapi kanker
Kanker terjadi akibat adanya pertumbuhan sel abnormal yang dapat disebabkan oleh kelainan genetik berupa mutase, amplifikasi, atau ekspresi abnormal. Kelainan ini dapat diturunkan atau timbul akibat rangsangan zat-zat karsinogenik. Farmakogenomik membawa pengobatan kanker ke arah individualized cancer therapy. Data genetik pasien penderita kanker sangat dibutuhkan dalam pertimbangan terapi kanker sehingga toksisitas berat dan fatal akibat kemoterapi dapat diminimalisir serta efikasi pengobatan dapat dicapai (Yudhani, 2014).
Tantangan dalam Merealisasikan Farmakogenomik dan Personalized Medicine
Meski telah lama menjadi perhatian para peneliti, realisasi Personalized Medicine dengan memanfaatkan bidang ilmu farmakogenomik agaknya masih sulit dilakukan mengingat bahwa dalam prosesnya diperlukan pemeriksaan profil genetik setiap pasien.
Hal ini memerlukan biaya yang cukup besar dan dikhawatirkan akan membebani pasien, sehingga realisasinya masih minim bahkan belum dapat dilakukan sebagai prosedur rutin.
Semoga dapat segera ditemukan solusi agar farmakogenomik ini dapat segera diaplikasikan dan membawa pelayanan kesehatan ke arah yang lebih maju dan efisien.
Sumber:
Bertilsson, L., & dkk. (2002). Molecular genetics of CYP2D6: Clinical Relevance With Focus on Psychotropic Drugs. British Journal of Clinical Pharmacology, 111-122.
CDC. (2018, Oktober 29). Pharmacogenomic. Retrieved from https://www.cdc.gov/genomics/disease/pharma.htm
Medline Plus. (2017, Mei 1). G6PD gene glucose-6-phosphate dehydrogenase. Retrieved from https://medlineplus.gov/genetics/gene/g6pd/
National Institute of General Medical Sciences. (2020, Juli 13). Pharmacogenomics. Retrieved from https://www.nigms.nih.gov/education/fact-sheets/Pages/pharmacogenomics.aspx
Pirmohamed, M. (2001). Pharmacogenetics and pharmacogenomics. British Journal of Clinical Pharmacology, 52, 345-347.
Radji, M. (2005). Pendekatan Farmakogenomik dalam Pengembangan Obat Baru. Majalah Ilmu Kefarmasian, 2(1), 1-11.
Yudhani, R. D. (2014). Farmakogenomik dan Terapi Kanker. CDK Journal, 41(6), 412-415.