farmasetika.com – Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia merilis naskah akademik dan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Kefarmasian kepada Pengurus Daerah IAI agar dilakukan koordinasi dengan Pengurus Cabang IAI, Pengurus Daerah PAFI, ISMAFARSI, Perguruan tinggi farmasi dan SMK farmasi serta semua pihak terkait di daerah masing-masing, untuk menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR RI yang berasal dari daerah pemilihan di wilayah PD masing-masing, agar RUU Kefarmasian segera dibahas dan disahkan oleh DPR-RI.
Hasil FGD
Naskah Akademik dan draft RUU Kefarmasian merupakan hasil dari Focus Group Discussion pembahasan RUU Kefarmasian pada hari Kamis, 28 November 2019 di Hotel Ibis Style Tanah Abang, yang dihadiri oleh beberapa unsur peserta yakni :
- Unsur Dirjen Farmalkes Kemkes RI
- Unsur Deputi I Badan POM RI
- Unsur Komite Farmasi Nasional / KFN
- Unsur Kolegium Ilmu Farmasi Indonesia /KIFI
- Unsur Umum Persatuan Ahli Farmasi Indonesia /PAFI
- Unsur Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia /APTFI
- Unsur Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia / APDFI
- Unsur Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Indonesia / Ismafarsi
- Unsur Pengurus Pusat IAI (Pengurus Harian, Korwil & Himpunan Seminat)
- Unsur Dewan Penasehat IAI
- Unsur Dewan Pakar IAI
- Unsur MEDAI Pusat IAI
- Unsur DEWAS Pusat IAI
- Ketua Pengurus Daerah IAI DKI Banten
- Ketua Pengurus Daerah IAI DKI Jakarta
- Magrizan, S.Si., Apt (Anggota DPRD Kab. Bangka)
- Ivoni Munir, S.Farm., Apt (Anggota DPRD Kabupaten Solok)
- Drs. Nurfirmanwansyah, MM., Apt (Anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat)
Latar belakang diperlukannya RUU Kefarmasian
Tujuan bernegara dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Salah satu upaya memajukan kesejahteraan umum dilakukan melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Agar dapat terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya maka pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat.
Hal tersebut sejalan dengan tujuan bernegara yaitu menjamin kesehatan masyarakat yang merupakan hak dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi “Setiap warga negara memiliki hak asasi manusia atas kesehatan, hidup sejahtera lahir dan batin”. Dalam mewujudkan jaminan hak dasar atas kesehatan tersebut, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjalankan pembangunan kesehatan serta pelindungan masyarakat, termasuk dari obat yang berisiko terhadap kesehatan.
Pasar farmasi nasional tumbuh rata-rata 12% pertahun pada periode 2010-2014. Besar pasar farmasi Nasional pada tahun 2015 diperkirakan sekitar Rp 62-65 Triliun dan meningkat menjadi Rp 69 Triliun pada tahun 2016. Pada tahun 2015, Obat resep (ethical) mendominasi sekitar 61% pasar farmasi nasional dan sisanya 39% adalah obat bebas (over the counter/OTC). Obat resep sendiri terdiri dari obat patent (30%) dan obat generik (70%), dimana obat generik terbagi lagi menjadi obat generik bermerek dan obat generik biasa (OGB). Dalam hal ini pangsa OGB di Indonesia masih relatif kecil (<20% dari total pasar obat generik). Potensi pertumbuhan obat resep ke depan, khususnya obat generik, diperkirakan akan semakin tinggi seiring dengan implementasi SJSN dan JKN.
Teknologi promosi telah terbukti sebagai sarana yang efektif memicu permintaan masyarakat terhadap produk yang ditawarkan, bahkan seringkali tanpa disertai pertimbangan yang rasional akan manfaatnya. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya penggunaan produk secara irasional. Kecanggihan teknologi promosi, dapat menutupi berbagai kelemahan produk, sehingga kewaspadaan konsumen dapat menurun akibat dorongan permintaannya. Selain itu, ada kecenderungan penggunaan misleading information untuk meningkatkan permintaan.
Seiring dengan peningkatan teknologi informasi, penggunaan media daring (online) dalam melakukan promosi dan penjualan produk Obat dan Makanan semakin besar. Promosi dan penjualan produk Obat dan Makanan di media daring sangat bervariasi dan dinilai efektif dalam menjangkau masyarakat yang semakin mudah dalam mengakses internet. Hal ini kemudian diikuti dengan kecenderungan peningkatan promosi Obat dan Makanan yang tidak memenuhi ketentuan serta peredaran Obat dan Makanan ilegal.
Sesuai dengan amanat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 108 Ayat 1 yang menyatakan bahwa praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional[1]. Kemudian pernyataan yang sama juga dapatkan pada PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 1 yang menegaskan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional[2]. Dengan demikian sewajarnya bahwa dalam penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dibutuhkan tenaga yang kompeten di bidang kefarmasian.
Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada tahun 2016 terdapat lebih dari 16 ribu macam obat yang beredar di Indonesia yang diproduksi oleh sedikitnya 205 pabrik farmasi. Diperkirakan setiap tahun, terdapat sekitar 300 merek obat baru. Kendati begitu, tidak ada pihak yang mengawal peredaran dan distribusi pelayanan obat ke konsumen sehingga masyarakat berpotensi dirugikan. Peran dan tugas apoteker dalam hal ini sangat diperlukan dalam untuk mengawal dan melindungi masyarakat[3].
Akan tetapi minimnya jumlah apoteker dan tidak diterapkannya implementasi aturan secara tepat menyebabkan pengawasan dan pelayanan obat ke konsumen menjadi terabaikan. Menurut Ikatan Ahli Apoteker (IAI). Indonesia hanya memiliki sekitar 30 ribu apoteker. Saat ini, rasio apoteker di Indonesia sebesar 1:8.000. Jumlah ini cukup besar dibandingkan negara ASEAN lain, satu apoteker hanya melayani 4.000-5.000 orang saja. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir praktik kefarmasian di Indonesia juga tidak dijalankan oleh profesi apoteker karena terkadang dijalankan oleh orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang kefarmasian. Dengan demikian, pelayanan obat ke masyarakat tidak dijalankan oleh profesi yang berkompeten. Selain itu banyak pula terjadi ketiadaan apoteker di sebuah apotik karena lemahnya pengawasan dari pemerintah. Kurangnya penegakan hukum juga menyebabkan banyak gudang farmasi di kabupaten/kota yang tidak dikelola oleh apoteker. Begitu pula di rumah sakit terkadang hanya menyediakan 1-2 apoteker saja. Padahal, idealnya setiap 30 TT (tempat tidur) rumah sakit wajib menyiapkan satu apoteker. Dengan demikian hal – hal tersebut diatas berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat[4].
Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi prioritas utama program pemerintah menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan kesehatan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun dibutuhkan juga peran serta dan dukungan dari masyarakat.
Saat ini memang Indonesia telah memiliki beberapa regulasi standar pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan, antara lain Permenkes Nomor 76 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, dan Permenkes Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Akan tetapi, perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan dengan era otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan Tenaga Kefarmasian sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi dirasakan masih belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam suatu undang – undang.
[1] Pemerintah Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2009, Nomor 144. Sekretariat Negara. Jakarta. [2] Pemerintah Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Lembaran Negara RI Tahun 2009, Nomor 124. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Jakarta. [3] Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan [4]Pratomo, Dani. 2010. Di Indonesia Kebanyakan Pelayanan Obat Tidak Lewat Apoteker, diakses dari https://ugm.ac.id/id/berita/1362-di-indonesia-kebanyakan-pelayanan-obat-tidak-lewat-apoteker, pada 30 November 2019Selengkapnya :
Draft RUU Kefarmasian
Berikut adalah draft RUU Kefarmasian, aspirasi pembaca Majalah Farmasetika bisa disampaikan kepada anggota DPR RI yang berasal dari daerah pemilihan di wilayah PD masing-masing, agar RUU Kefarmasian segera dibahas dan disahkan oleh DPR-RI.
Menimbang :
- bahwa kesehatan merupakan hak azasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- bahwa untuk itu perlu ditingkatkan penyelenggaraan segala kegiatan dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;
- bahwa farmasi sebagai bagian dari komponen kesehatan diselenggarakan secara teraraah, berkesinambungan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk hidup sehat berdasarkan pemanfaatan, penelitian, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penggalian sumberdaya alam secara berdayaguna dan berhasil guna.
- bahwa upaya melakukan pengaturan kefarmasian untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada huruf c belum diaur secara komprehensif dan masih diatur secara parsial dalam peraturan perundang-undangan;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dmaksud pada huruf a, b, c, dan d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Farmasi.
Selengkapnya