Majalah Farmasetika – Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna pada Senin (5/10/2020). Apoteker Indonesia melalui Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) menuntut agar UU Ciptaker direvisi karena merasa Profesi Apoteker terlupakan dengan tidak tercantumnya pelayanan kefarmasian dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Apotek dalam RUU tersebut.
Presidium Nasional FIB mendapatkan draf RUU Cipta Kerja beberapa saat sebelum pengesahan, yaitu draf 905 halaman , 1035 halaman dan yang terakhir 812 halaman. Beredarnya draf final Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menuai kontroversi komunitas apoteker ,tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lain, setelah dukun bayi dan paranormal masuk sebagai layanan kesehatan medis yang bebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sedangkan Apoteker tidak ada.
“Kami telah membaca dan mempelajari pasal demi pasal UU Ciptaker yang berkaitan dengan tenaga kefarmasian, khususnya Apoteker. Dan hasilnya zonk,” ujar Fidi Setyawan dalam keterangan tertulis, Senin (12/10/2020).
Fidi menyebutkan ada 3 hal yang menjadi fokusnya, yakni :
- Pasal 112 Ayat (3) Huruf a dinyatakan jasa pelayanan kesehatan medis meliputi jasa dokter ,dukun bayi hingga Pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh Paranormal, tidak ada Jasa Pelayanan Kefarmasian dipasal tersebut.
- Pasal 14 Ayat (1) bagian penjelasan, UMKM Apotek tidak termasuk dalam unit usaha yang dilakukan penyederhanaan Perizinan Berusaha
- Pasal 29 Ayat (1) huruf bagian penjelasan, Standar Pelayanan Kefarmasian tidak dimasukkan dalam Standar Pelayanan Rumah Sakit
“Kami ingin menyampaikan bahwa Apoteker Indonesia sangat keberatan dengan pasal-pasal diatas dan menyayangkan sikap Pemerintah dan DPR melupakan Apoteker sebagai sebuah profesi kesehatan yang disumpah berdasarkan Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1962 dan ditetapkan sebagai tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan dalam melakukan praktik kefarmasian dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan” lanjut Fidi.
“Kami mengirimkan Surat terbuka untuk Bapak Presiden dan Ibu Ketua DPR RI” lanjutnya.
Menurutnya, dalam UU. 36 Tahun 2014 pasal 57 menyebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan berhak memperoleh imbalan jasa, namun sampai saat ini belum dilegalkan dan diterapkan untuk jasa pelayanan kefarmasian.
“Perlu di ingat, lebih dari 80% tindakan medis memakai obat dan Alkes. Peran Apoteker melekat mulai dari riset, uji klinis, produksi obat, distribusi obat dan pelayanan obat baik difasilitas kesehatan maupun melalui swamedikasi kefarmasian. Dari praktik Apoteker inilah muncul Jasa Pelayanan Kefarmasian” , terang Fidi.
Dalam keterngan tertulis yang diterima redaksi, disebutkan bahwa jasa Pelayanan Kefarmasian adalah hak mutlak dari praktik Apoteker, jika dialihkan ke hal lainnya, berarti melanggar UU Tenaga Kesehatan.
“Selama ini banyak salah arti bahwa jasa pelayanan kefarmasian hanya diambil dari margin obat/produk, padahal jasa pelayanan kefarmasian terkait kewenangan praktik kefarmasian, yaitu pelayananan langsung ke pasien” Tegas Fidi. (Red./NW).