Download Majalah Farmasetika

Tekan Bahan Baku Farmasi Impor dengan Peningkatan Investasi

Farmasetika.com – Sampai saat ini industri farmasi di Indonesia masih mengimpor pasokan bahan baku obat dari luar negeri. Sekitar 90% bahan baku sediaan obat bukan berasal dari dalam negeri (Angga, 2018).

Undang undang yang mengatur tentang impor bahan baku atau produk tertentu yang dilindungi paten bagi produksi obat di dalam negeri adalah UU NO.32 Tahun 1991 (JDIH, 2009).

Pada tahun 2012 besar biaya import untuk bahan baku obat sekitar Rp 11,4 triliun. Jika dipersentasekan dapat mencapai 95% dari total nilai bisnis bahan baku obat di Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Pemasok Bahan Baku Obat (Pharma Materials Management Club/PMMC), Kendrariadi Suhanda mengatakan nilai bisnis bahan baku impor telah mencapai 25% dari semua nilai bisnis farmasi nasional. Pada tahun 2011 yang tercatat dalam data IMS Health, pasar nasional bidang farmasi mencapai Rp 43,08 triliun. Di tahun berikutnya diperkirakan naik sekitar 13 % yang akan mencapai angka 48,61 triliun. Hal tersebut membuat pemerintah memacu investasi di bidang kefarmasian (Kemenperin, 2012).

Presiden Joko Widodo pada beberapa waktu lalu melakukan peresmian pada suatu industri bahan baku obat serta produk biologi yaitu PT. Kalbio Global Medika. Industri tersebut berlokasi di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pada peresmian tersebut Presiden berpidato terkait investasi dalam bidang farmasi. Telah disebutkan bahwa Amerika merupakan sebuah Negara dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia tetapi tidak menyediakan jaminan kesehatan semacam JKN seperti di Indonesia. Hal tersebut membuat Presiden bisa berkata bahwa Investor bisa berinvestasi di Indonesia dengan penuh keyakinan dengan alasan peluang pangsa pasar yang sangat besar (Angga, 2018).

Di samping itu, pertumbuhan ekonomi dinilai akan terus konsisten oleh Presiden. Karena banyaknya masyarakat dengan golongan kelas menengah, dapat memungkinkan terjadinya peningkatan permintaan produk industri. Presiden Jokowi meyakinkan bahwa peluang industri farmasi masih sangat besar (Angga, 2018).

Saat ini teknologi sedang berkembang pesat, sehingga teknologi di bidang kefarmasian pun ikut berkembang. Salah satu contohnya adalah bioteknologi. Pada masa ini sebagian masyarakat pasti akan bergantung pada bioteknologi (Angga, 2018).

Beberapa penyakit membutuhkan obat yang hanya bisa dibuat menggunakan bioteknologi, misalnya Onkologi. Onkologi merupakan penyakit yang dapat terjadi karena komplikasi kanker dan penyakit tumor ganas lainnya atau disebabkan oleh terapi antineoplastik, penyakit ini merupakan penyakit yang sangat serius sehingga membutuhkan penanganan dan obat khusus (Bakta dan Suastika, 1999). Para penderita penyakit seperti kanker atau onkologi akan memerlukan obat-obat yang bermolekul besar. Obat bermolekul besar untuk pengobatan penyakit tersebut merupakan hasil dari bioteknologi. Perkembangan industri dalam bidang farmasi semakin meningkat akibat banyaknya kebutuhan seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman (Angga, 2018).

Baca :  Banyak Bahan Baku dari China, Persediaan Obat Menipis Karena COVID-19

Presiden jokowi terus menghimbau untuk terus membangun industri farmasi dalam negeri. Beliau menuturkan, “ Industri farmasi itu sangat penting. Jangan sampai negara kita mengimpor bahan baku terus menerus. Dengan begitu marilah kita berpikir bersama-sama untuk melakukan investasi di Industri farmasi yang bahan-bahannya masih impor.” (Angga, 2018).

Jokowi sangat mengapresiasi peresmian pabrik bahan baku obat dan produk biologi yaitu PT Kalbio Global Medika. Pabrik tersebut dibangun selama kurang lebih tiga tahun. Terdapat beberapa aspek penting dalam industri tersebut. Yang pertama adalah dari sudut pandang investasi, berikutnya adalah dari sisi inovasi teknologi, dan yang terakhir dalam bidang kesehatan (Angga, 2018).

Wujud investasi yang dapat meningkatkan jumlah produksi dalam negeri adalah pendirian industri farmasi yang bergerak dalam bidang bahan baku obat mulai dari industri yang hanya menggunakan teknologi biasa sampai industri farmasi berbasis bioteknologi (Angga, 2018).

Upaya tersebut dapat dinilai sejalan dengan program JKN yaitu Jaminan Kesehatan Nasional. Saat ini jumlah penduduk yang sudah mengikuti program tersebut sudah mencapai 193.144.982 sekitar 74,3% dari jumlah penduduk Indonesia. Dilihat dari angka tersebut dapat diketahui bahwa JKN yang dimiliki Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Kalimat tersebut diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo (Angga, 2018).

Nila F. Moeloek seorang menteri kesehatan menuturkan, “Terbentuknya program Jaminan Kesehatan Nasional memberi dampak berupa peningkatan kebutuhan obat yang digunakan masyarakat. Dengan begitu kewajiban pemerintah sebagai pemberi jaminan ketersediaan seluruh obat yang dibutuhkan pun harus terpenuhi. Untuk itu pemerintah membutuhkan industri farmasi sebagai produsen dalam penyediaan obat untuk kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia. Tidak hanya untuk obat-obatan saja tetapi ketersediaan biologi berupa vaksin dan lain-lain.” (Angga, 2018).

Sampai saat ini tidak ada satupun Negara yang tidak bergantung kepada Negara lain. Artinya tidak ada Negara apapun yang 100% mandiri. Salah satu contohnya adalah Negara Jepang dengan Amerika Serikat yang masih saling mengimpor bahan-bahan yang mereka butuhkan (Spillane, 2010).

Indonesia perlu mengembangkan industri farmasi terutama industri bahan baku obat. Adanya industri bahan baku obat membuat harga-harga obat menjadi lebih murah karena harga bahan baku obat yang tidak mahal seperti bahan baku hasil impor. Pada tahun 2007 terjadi kenaikan harga bahan baku obat dengan rata-rata mencapai 15%-20%. Obat yang mengalami kenaikan adalah obat jenis antibiotik, seperti amoksilin. Di tahun berikutnya pemerintah Cina meminta produsen bahan baku obat-obatnya yang beresiko merusak lingkungan untuk memberhentikan produksinya. Kebijakan tersebut membuat Indonesia terbilang cukup dirugikan karena sebagian besar bahan baku obat diimpor dari Cina, 30% bahan baku diimpor dari Jerman dan India dan sisanya dari dalam negeri (Spillane, 2010).

Baca :  BPOM : 3 Penyebab Kasus Cemaran EG "Bahan Baku, Farmakope, & Farmakovigilan"

Kementrian Kesehatan berupaya menyiasati agar bahan baku bisa diproduksi di dalam negeri dengan harapan Indonesia tidak terus-menerus bergantung pada negara lain dan menjadi negara yang mandiri. Tujuan lainnya adalah agar biaya pengobatan akan lebih terjangkau jika diproduksi sendiri (Angga, 2018)..

Nila F. Moeloek memaparkan, “Selama ini kita mengimpor bahan baku obat yang terbuat dari bahan kimia umumnya dari Republik Rakyat Cina dan India. Namun saya juga mendorong agar sebaiknya melakukan inovasi dalam bidang tanaman herbal. Indonesia memiliki banyak tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam bidang pengobatan.” (Angga, 2018).

Di bidang farmasi ada beberapa negara yang sudah menjalin kerja sama dengan Indonesia antara lain Jerman, Cina, Spanyol, Korea Selatan, dan India. Sampai saat ini kemenkes masih terus membangun dan mempertahankan kemitaraan dengan negara lain untuk menarik investasi dalam bidang farmasi serta alat kesehatan (Angga, 2018).

“Untuk alat kesehatan dasar diharapkan dapat dibuat di industri dalam negeri walaupun kita sudah kerja sama dengan Cina, Jepang, Amerika Serikat dan Yordania. Sehingga kita dapat mandiri dan bekerja sama dengan negara asing,” jelasnya (Angga, 2018).

Vidjongtius selaku presiden direktur PT Kalbe Farma menuturkan terkait tantangan yang sampai saat ini masih dihadapi industri farmasi yaitu tidak tersedianya bahan baku di dalam negeri. Lebih dari 90% bahan baku obat didapatkan dengan cara diimpor dan untuk bahan baku canggih 100% masih harus diimpor (Angga, 2018).

Oleh karena itu, perlu didorong produksi bahan baku obat di dalam negeri untuk dapat memastikan kemandirian serta ketahanan obat, dimana telah disusun sebuah kebijakan agar terwujudnya hal tersebut mulai dari inpres sampai permenkes.“Road map industri farmasi juga telah disusun untuk mengembangkan empat pilar, yaitu produk biologi, vaksin, herbal, dan zat aktif kimia,” ujarnya (Angga, 2018).

DAFTAR PUSTAKA

Angga, Dita. 2018. 90% Bahan Obat Impor, Pemerintah Genjot Investasi BidangFarmasi. Available at https://ekbis.sindonews.com/read/1285738/34/90-bahan-obat-impor-pemerintah-genjot-investasi-bidang-farmasi-1519791594. [Diakses pada 10 Maret 2018].

Bakta, I. M. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

JDIH. 2009. PP NO.32 Tahun 1991 Tentang Impor Bahan Baku Atau Produk Tertentu. Available at http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=fZgdXDi1QVhSt6uKA3xiEV%2BMxWuTX6MD18Ukb2sJ6Mw%3D. [Diakses pada 10 Maret 2018].

Kemenperin. 2012. Impor Bahan Baku Obat Tembus Rp 11 Reiliun. Available at http://www.kemenperin.go.id/artikel/2808/Impor-Bahan-Obat-Tembus-Rp-11-T. [Diakses pada 10 Maret 2018].

Spillane, J. J. 2010. Ekonomi Farmasi. Yogyakarta: Grasindo.

Nama :

1. Mutiara Putri Utami (260110170060)

2. Syifa Salsabila (260110170090)

Share this:

About Syifa Salsabila

Check Also

Imbas Kasus DEG, BPOM Keluarkan Standar CPOB 2024

Majalah Farmasetika – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI rilis Peraturan BPOM Nomor 7 …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.