Download Majalah Farmasetika
batuk
pic : freedigitalphotos.net

Memilih Obat Batuk yang Tepat untuk Pengobatan Diri Sendiri “Swamedikasi”

Majalah Farmasetika (V1N10 – Desember 2016). Musim pilek dan flu adalah saat-saat dimana Apoteker akan menemukan banyak pasien mendatangi rak-rak obat untuk mencari obat yang tepat dalam menangani batuknya.

Pasien bebas memilih obat yang diinginkan karena terdapat banyak produk obat bebas (OTC) saat ini, tetapi apoteker berada dalam posisi yang ideal untuk menilai dan membantu pasien dalam memilih produk obat batuk untuk pengobatan diri sendiri atau swamedikasi, serta mendorong pasien untuk berobat lebih lanjut jika diperlukan.

Klasifikasi Batuk

Batuk adalah gejala penyakit yang paling banyak terjadi yang kemudian menyebabkan pasien merasa perlu berobat. Selain itu, batuk merupakan gejala umum yang dikeluhkan pasien di klinik-klinik umum dan puskesmas.

Batuk dapat digolongkan ke dalam batuk akut atau kronik dan kemungkinan disebabkan oleh paparan terhadap iritan atau alergen, kondisi medis tertentu, atau penggunaan obat-obat tertentu. Batuk akut biasanya berlangsung kurang dari 3 minggu. Batuk subakut berlangsung 3 hingga 8 minggu, sedangkan batuk kronis berlangsung lebih dari 8 minggu.

Selain itu, batuk dapat dideskripsikan sebagai batuk produktif dan tidak produktif. Meskipun sebagian besar batuk pulih dengan sendirinya, beberapa jenis batuk seperti batuk kronis dapat terasa mengganggu dan berpengaruh negatif terhadap kualitas hidup pasien dengan mengganggu tidurnya dan menyebabkan kelelelahan, nyeri atau ketidaknyamanan pada muskuloskeletal, suara serak, sakit kepala, gangguan saluran urin, nyeri dada, dan lesu. Pasien penderita batuk kronik harus diperiksa untuk menemukan penyebab batuk dan mendiagnosa kondisi kesehatan yang serius.

Penyebab Batuk

Terdapat beberapa kemungkinan penyebab batuk. Pada batuk akut, penyebab yang mungkin di antaranya infeksi saluran pernapasan atas oleh virus (pilek atau flu), terpapar alergen atau iritan, dan pneumonia. Pada batuk subakut, penyebab yang mungkin di antaranya asma, batuk pasca infeksi, atau sinusitis bakteri. Batuk kronis kemungkinan disebabkan oleh penyakit refluks gastroefageal, asma, merokok, penyakit paru obstruktif kronis, penggunaan obat-obat ACEI atau betabloker, kelainan ventricular kiri, cystic fibrosis, sarcoidosis, kanker paru, dan sebagainya.

Obat Bebas (Over-the-Counter, OTC) untuk Menangani Batuk

Tujuan utama swamedikasi pada batuk adalah untuk meredakan batuk dan mencegah komplikasi. Karena pengobatan batuk bersifar simptomatik, penyebab awalnya harus diidentifikasi dan diobati. Untuk swamedikasi dan manajemen batuk, terdapat sangat banyak produk obat bebas, meliputi antitusif oral, ekspektoran, dan antitusif topikal, yang tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, baik dalam bentuk produk tunggal maupun kombinasi agen protusif dan antitusif.

Ekspektoran (Protusif)

Guaifenesin adalah satu-satunya ekspektoran, atau disebut juga protusif, yang disetujui oleh FDA. Guaifenesin diindikasikan untuk pereda simptomatik batuk produktif tak-efektif akut. Meskipun farmakokinetika guaifenesi belum jelas, agen ini diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral, dengan perkiraan waktu paruh sekitar 1 jam. Penggunaan guaifenesin tidak menyebabkan interaksi dengan obat lainnya yang diketahui serta umumnya ditoleransi dengan baik. Akan tetapi, terdapat laporan beberapa efek samping yang jarang terjadi, seperti pusing,, sakit kepala, ruam, mual, muntah, dan gangguan pencernaan. Ekspektoran tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, meliputi obat cair, sirup, serbuk granul, tablet, dan kapsul. Guaifenesin tidak boleh digunakan untuk mengobati batuk kronik yang menyertai penyakit saluran pernapasan bawah kronik, seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), emfisema, dan batuk perokok.

Baca :  Apoteker Harus Informasikan HET dan Obat Generik dari Obat yang Diresepkan

Antitusif

Antitusif oral bebas yang disetujui FDA yang saat ini tersedia meliputi kodein, dekstrometorfan, dan difenhidramin dalam berbagai formulasi dosis untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasien.

Dekstrometorfan

Sebagian besar obat bebas supresan mengandung dekstrometorfan, yang diindikasikan untuk menekan batuk nonproduktif yang disebabkan oleh iritasi saluran pernapasan oleh bahan kimia atau secara mekanis. Contoh sediaan dekstrometorfan meliputi sirup, larutan, suspensi, kapsul gel berisi cairan, granul, dan tablet hisap. Dekstrometorfan diserap dengan baik pada pemberian obat dengan onset kerja 15 hingga 30 menit dan durasi kerja 3 hingga 6 jam. Meskipun tidak lazim, beberapa efek samping yang pernah dilaporkan di antaranya mual, mengantuk, muntah, rasa tidak nyaman pada perut, dan konstipasi.

Berdasarkan National Institute of Drug Abuse, dekstrometorfan adalah salah satu dari dua obat batuk yang paling banyak disalahgunakan, terutama di kalangan remaja. Jika dikonsumsi dalam jumlah banyak, obat ini dapat menyebabkan euforia dan halusinasi. Penyalahgunaan deksrometordan dapat mengganggu fungsi motorik dan menyebabkan rasa kebas, mual, muntah, takikardia, hipertensi, peningkatan suhu tubuh, dan kelebihan asam dalam tubuh. Tenaga kesehatan dihimbau untuk berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hal ini.

Difenhidramin

Difenhidramin digolongkan ke dalam senyawa antihistamin nonselektif generasi pertama dengan sifat sedasi dan antikolinergik yang kuat. Meskipun disetujui oleh FDA sebagai agen antitusif, difenhidramin tidak disarankan digunakan sebagai antitusif first-line, namun ditemukan dalam banyak produk pereda pilek dan alegi bersama dengan bahan aktif lainnya. Difenhidramin bekerja secara sentral di dalam medulla untuk meningkatkan ketahanan terhadap batuk. Difenhidramin diindikasikan untuk menekan batuk nonproduktif yang disebabkan oleh iritasi kimia atau mekanis pada saluran pernapasan. Efek samping yang paling sering terjadi di antaranya mengantuk, depresi pernapasan, pandangan kabur, retensi urin, dan mulut kering.

Kodein

Pada dosis antitusif, kodein digolongkan sebagai narkotika kategori 5. Kodein diindikasikan untuk menekan batuk nonproduktif yang disebabkan oleh iritasi kimia atau mekanis pada saluran pernapasan. Kodein bekerja secara sentral pada medulla untuk meningkatkan ketahanan terhadap batuk dan, jika diberikan pada dosis antitusif, memiliki toksisitas dan risiko kecanduan yang rendah. Efek samping kodein pada dosis antitusif yang paling banyak terjadi di antaranya mual, muntah, kantuk, pusing, dan konstipasi. Obat ini harus digunakan dengan peringatan pada penderita asma, PPOK, depresi pernapasan, dan kecanduan obat terlarang.

Antitusif lainnya

Kamfer dan mentol, dua agen antitusif topikal yang disetujui oleh FDA, dapat ditemukan dalam bentuk salep dan obat hirup (inhalasi). Pasien harus diberikan informasi penggunaan obat ini dengan tepat dan disarankan untuk mengikuti instruksi pabrik pembuat obat. Mentol juga digunakan pada banyak tablet hisap pereda batuk.

Baca :  Ketua PP IAI : Apoteker Masa Kini Cerdas Berpraktek, Berprofesi dan Berorganisasi

Peran apoteker dalam swamedikasi obat batuk

Sebelum merekomendasikan produk obat batuk bebas (OTC), apoteker harus memastikan apakah swamedikasi tepat dilakukan dan harus selalu mencatat riwayat alergi pasien, riwayat kesehatan, dan catatan pengobatan terakhir untuk memantau interaksi dan kontraindikasi obat yang mungkin terjadi. Perempuan hamil dan menyusui serta penderita penyakit kronis harus selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum menggunakan obat batuk OTC.

Selama berkonsultasi, pasien harus diingatkan untuk membaca brosur informasi obat dan memeriksa komposisinya sebelum menggunakan, terutama jika menggunakan banyak produk, untuk menghindari pemberian obat ganda atau dosis yang berlebih. Penting bagi pasien untuk mematuhi aturan dosis dan pemberian obat serta durasi penggunaan obat.

Penting pula bagi apoteker untuk mengingatkan keluarga atau perawat pasien untuk selalu menggunakan alat pengukur yang terkalibrasi saat memberikan obat larutan dan untuk membaca informasi obat sebelum memberikan obat pada anak-anak untuk memastikan ketepatan dan kesesuaian dosis. Keluarga dan perawat hanya boleh memberikan produk obat bebas untuk anak yang diproduksi secara khusus untuk populasi pediatric dan harus mematuhi rekomendasi produsen obat, terrutama berkaitan dengan batas usia penggunaan obat. Jika merasa ragu terkait kesesuaian atau dosis obat, keluarga harus selalu berkonsultasi pada dokter anak atau apoteker.

Pasien yang mengalami satu atau beberapa gejala berikut harus berkonsultasi dengan dokter dan tidak boleh melakukan swamedikasi.

  • Riwayat gejala yang berkaitan dengan batuk kronik, seperti PPOK, gagal jantung kongestif, asma, dan bronkhitis kronik
  • Batuk yang menghasilkan lendir berwarna atau darah
  • Batuk yang disebabkan oleh golongan obat tertentu
  • Batuk yang disertai demam >38,6oC, napas pendek, nyeri dada, berkeringat, menggigil, sakit kepala berat, atau pembengkakan pergelangan kaki atau kaki
  • Batuk yang memburuk atau tidak reda setelah mengalami infeksi saluran pernapasan atas oleh virus, seperti pilek atau flu

Batuk merupakan gejala banyak penyakit akut dan kronis sehingga swamedikasi dapat menyamarkan identifikasi dan pengobatan penyebab dasarnya. Pasien yang mengalami batuk kronik harus disarankan untuk berobat ke dokter, terutama jika penyebabnya tidak diketahui atau batuknya tidak membaik atau memburuk. Dalam banyak kasus, batuk akan membaik atau berhenti jika akar penyebabnya diobati atau dihindari.

Batuk yang kemungkinan disebabkan oleh penggunaan obat (misalnya ACEI) harus berkonsultasi dengan dokter atau apoteker untuk memperoleh rekomendasi obat lain yang tidak menyebabkan batuk. Harus diperhatikan bahwa ACEI menyebabkan batuk kering pada sekitar 20% pasien yang mengonsumsinya. Selain itu, beta-adrenergik bloker sistemik dan optalmik juga dapat menyebabkan batuk pada pasien penderita asma atau PPOK. Pasien yang mengalami batuk akibat merokok direkomendasikan untuk mengikuti program berhenti merokok.

Sumber:

Yvette C. Terrie. Proper Use of OTC Cough Medications: Back to the Basics. . www.pharmacytimes.com/publications/issue/2016/november2016/proper-use-of-otc-cough-medications-back-to-the-basics

Share this:

About Hafshah

Hafshah Nurul Afifah, S.Farm., Apt. meraih gelar sarjana dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran pada tahun 2012. Gelar apoteker diperoleh dari Program Studi Profesi Apoteker Universitas Padjadjaran pada tahun 2016. Tahun 2012 hingga 2013 bekerja full-time sebagai editor buku farmasi di CV. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Saat ini masih aktif sebagai editor dan penerjemah lepas serta bekerja sebagai staff Quality Assurance di sebuah industri farmasi swasta di Bandung.

Check Also

Pertimbangan Regulasi Terkait Model Peracikan 503B ke 503A untuk Apotek Komunitas

Majalah Farmasetika – Tinjauan mengenai persyaratan bagi apotek yang mempertimbangkan untuk memesan senyawa dari fasilitas …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.