Download Majalah Farmasetika

Deteksi Bakteri Patogen S. aureus dengan Sensor Elektrokimia

Majalah Farmasetika – Di dunia ini, ada berbagai macam makhluk hidup yang ada di sekitar manusia. Makhluk hidup ini sangatlah unik dan beragam. Ada makhluk hidup yang berukuran sangat besar seperti paus biru yang panjangnya bisa mencapai 32 m, hingga makhluk hidup yang berukuran sangat kecil seperti bakteri ataupun virus yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala manusia.
Tempat tinggal makhluk-makhluk ini pun sangat beragam. Ada yang hidup di kedalaman laut, ada yang hidup di gurun pasir, bahkan ada yang hidup di dalam tubuh manusia. Salah satu contoh makhluk hidup yang ada di dalam tubuh manusia adalah bakteri Staphylococcus aureus.

Bakteri S. aureus

Sekitar 30% manusia memiliki bakteri Staphylococcus aureus di dalam tubuhnya. Staphylococcus aureus adalah patogen utama bagi manusia dan berperan sebagai penyebab umum infeksi. Bakteri ini adalah salah satu dari 30 jenis bakteri Staphylococcus dan menjadi penyebab infeksi yang paling paling sering dialami oleh manusia. Namun, jika sistem imun tubuh seseorang dalam keadaan normal maka bakteri ini tidak bersifat patogen.

Bisul, salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.

Beberapa penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus yaitu bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritis. Bakteri ini terdiri dari dinding sel, kapsul polisakarida, dan juga protein A.

Protein A

Protein A adalah protein yang dapat ditemukan pada permukaan dinding sel dari bakteri Staphylococcus aureus. Sekitar 90% dari bakteri Staphylococcus aureus memiliki protein A ini. Protein A dari bakteri ini berperan untuk menurunkan respon imun dari inang yang ditempati oleh bakteri Staphylococcus aureus.
Protein A hanya dimiliki oleh bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini menyebabkan bakteri Staphylococcus aureus dapat dengan mudah dibedakan dari bakteri-bakteri lainnya. Dengan adanya protein A pada bakteri Staphylococcus aureus ini, maka dapat dilakukan berbagai pendekatan dalam pengembangan metode deteksi cepat agar infeksi dari bakteri ini dapat dikendalikan. Salah satu alat yang dapat digunakan sebagai sensor untuk mendeteksi bakteri ini adalah aptamer.

Aptamer

Aptamer merupakan sintesis dari molekul asam nukleat beruntai tunggal dan dapat dilipat menjadi struktur tiga dimensi yang kompleks sehingga memungkinkan aptamer untuk mengikat target berdasarkan pengenalan struktur dengan afinitas maupun spesifisitas yang tinggi.
Aptamer dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan dari penggunaan antibodi, seperti biaya produksi yang tinggi, ketidakstabilan pada suhu yang tinggi, dan umur simpan yang pendek.

Prinsip Kerja Sensor Elektrokimia

Umumnya pengujian untuk deteksi bakteri pada suatu sampel menggunakan kultur dan uji biokimia. Kultur dan uji biokimia dapat digunakan untuk membedakan bakteri berdasarkan aktivitas bakteri tersebut, contohnya fermentasi gula. Selain itu, untuk pengujian yang lebih spesifik dapat digunakan juga PCR (Polymerase Chain Reaction), dimana deteksi menggunakan PCR berdasarkan pada rantai DNA bakteri yang ingin dideteksi.

Baca :  Deteksi Kanker Prostat dengan Elektroda modifikasi Single-Wire Carbon Nanotubes (SWNT)
Prinsip kerja

Prinsip kerja dari sensor elektrokimia ini adalah impedansi elektrik, yaitu halangan transfer elektron atau yang biasa disebut arus listrik. Impedansi inilah yang diukur pada sensor elektrokimia ini untuk mendeteksi keberadaan bakteri Staphylococcus aureus pada sampel. Adanya bakteri Staphylococcus aureus pada sampel yang diuji akan menimbulkan impedansi yang kemudian akan terukur pada instrumen di akhir percobaan.
Pada sensor elektrokimia ini, digunakan protein A sebagai pembeda bakteri Staphylococcus aureus dengan bakteri lainnya. Untuk mendeteksi protein A tersebut, digunakan aptamer spesifik yang kemudian akan bereaksi dengan protein A pada sampel yang mengandung bakteri Staphylococcus aureus. Aptamer yang digunakan adalah PAA atau Protein A binding Aptamer. Untuk menciptakan impedansi yang kemudian akan diukur, digunakan sebuah senyawa redox probe yaitu K3/4[Fe(CN)6].

Pengukuran Impedansi Elektrokimia (EIS/Electrochemical Impedance Spectroscopy)

Pengukuran impedansi dilakukan pada tiga elektroda. Pengukuran dilakukan dengan mengalirkan sampel ke dalam chamber kemudian menginkubasi chamber selama 5 menit. Setelah inkubasi selesai, dialirkan redox probe dan binding buffer ke dalam chamber. Pada tahap ini, impedansi sudah dapat diukur. Apabila sampel mengandung protein A (Protein spesifik Staphylococcus aureus) maka akan timbul impedansi, sedangkan apabila sampel tidak mengandung protein A maka tidak terdapat impedansi pada pengukuran.
Impedansi ditimbulkan dari hambatan transfer elektron antara elektroda dengan redox probe. Pada kondisi tanpa adanya protein A pada sampel, PAA (Protein A binding aptamer) pada permukaan elektroda tidak akan bereaksi dengan komponen sampel. Karena aptamer pada elektroda tersebut tidak bereaksi, sehingga elektroda dapat bereaksi redoks dengan redox probe yang dialirkan ke dalam chamber. Adanya reaksi redoks tersebut kemudian akan menimbulkan transfer elektron, sehingga impedansi tidak terbaca.

Pada kondisi ada protein A pada sampel, PAA (Protein A binding aptamer) pada elektroda akan bereaksi dengan protein A. Reaksi antara kedua molekul tersebut akan menghalangi reaksi redoks dan transfer elektron antara elektroda dengan redox probe yang dialirkan ke dalam chamber. Adanya halangan tersebut akan menimbulkan adanya impedansi yang terukur pada akhir percobaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya impedansi menunjukkan adanya protein A pada sampel.
Spesifisitas sensor elektrokimia ini dapat ditunjukkan pada grafik berikut :

Grafik Impedansi Aptamer + Protein

Grafik tersebut merupakan grafik hasil pengukuran sampel yang mengandung protein A, protein G dan protein L. Melalui grafik tersebut ditunjukkan bahwa PAA (Protein A binding aptamer) tidak bereaksi dengan protein G dan L, tetapi bereaksi dengan protein A.

Baca :  Teknik Terapi Baru dengan Bakteri Laut Mampu Membunuh Sel Kanker Prostat

Reaksi tersebut ditunjukkan dengan adanya impedansi yang terbaca pada grafik, dimana pada sampel yang mengandung protein G dan L tidak terdapat impedansi yang terbaca atau hanya sedikit impedansi yang terbaca. Sedangkan pada sampel yang mengandung protein A terdapat pembacaan impedansi yang tinggi.

Kelebihan

Biosensor dalam penelitian ini menunjukkan pengikatan yang sensitif terhadap protein A. Penelitian ini juga menunjukkan selektivitas yang sangat baik dari sensor yang dikembangkan, dengan sinyal di bawah LoD saat terpapar untuk konsentrasi tinggi dari protein G dan L begitu juga saat terkena sel S. aureus hidup, biosensor berbasis aptamer yang dikembangkan.

Penelitian ini juga membuktikan selektivitas tinggi dari aptamer, membedakan antara S. aureus dan protein A, seperti E. coli dan S. epidermidis. Kesederhanaan desain penelitian ini memungkinkan kemudahan dalam reproduksi dan pengembangkan sistem mikrofluida dapat dengan mudah diotomatisasi. Kombinasi dengan pola elektroda memungkinkan pengukuran paralel beberapa analit ketika difungsikan dengan aptamers yang berbeda, di masa depan.

Keterangan

Untuk aplikasi dalam pengaturan klinis, memerlukan langkah tambahan untuk evaluasi berbagai pendeteksian strain S. aureus dan resistensi antibiotik yang mungkin terjadi (mis., oleh PCR) mungkin harus dipertimbangkan.

Penelitian ini masih merupakan pendahuluan sehingga pengaruh buffer kekuatan ion yang berbeda dan sampel matriks pada biosensor kinerja harus diselidiki dengan cermat. Selain itu pengaruh matriks sampel kompleks, seperti susu, pada kinerja sensor yang dikembangkan, juga masih harus diperiksa. Untuk diterapkan dalam industri makanan, seperti deteksi enterotoksin masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Aplikasi

Dalam pemanfaatan pada bidang industri, sensor ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminasi dari bakteri S. aureuspada makanan. Diketahui bahwa bakteri S. aureus dapat menghasilkan lebih dari 7 racun berbeda sehingga dapat menyebabkan penyakit.

Maka dari itu, dilakukan deteksi enterotoksin untuk menghindari hal tesebut. Pada industri makanan sendiri, persyaratan untuk enterotoksin ialah sebesar 0,05 ng/g.
Sedangkan pada bidang klinis, sensor ini dapat digunakan untuk meningkatkan tes dengan identifikasi cepat dari jenis bakteri, sebelum dilakukannya pengujian kerentanan antibiotik. Tentu saja hal ini dapat mengurangi biaya seperti isolasi pasien, sehingga pengujian ini dapat dilakukan tanpa biaya yang besar.

Sumber :
Reich, P., Regina S., Beate S., Dieter F., and Dieter B. 2017. Development of An Impedimetric Aptasensor for the Detection of Staphylococcus aureus. International Journal of Molecular Sciences. Vol. 18(2484) : 1-18.

Share this:

About Amabel Odelia Samuel

Check Also

FDA Setujui Penggunaan IVIG (Bivigam) untuk Pasien Anak Usia 2 Tahun ke Atas dengan Imunodefisiensi Humoral Primer

Majalah Farmasetika – Bivigam awalnya disetujui oleh FDA pada Mei 2019 untuk pengobatan imunodefisiensi humoral …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.