Download Majalah Farmasetika
Ilustrasi. Sumber foto : pikiranrakyat.com

Tak Semua Apoteker Bisa Limpahkan Wewenang Praktik Kefarmasian kepada TTK

Majalah Farmasetika – Kontroversi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2020 (Permenkes/PMK 26/2020) tentang Perubahan atas PMK 74/2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) masih terus berlanjut. apoteker Farmasi Klinis RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang,  apt. Sudarsono., M.Sc, memberikan ulasan terkait Hubungan Profesional antara apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dalam pelaksanaan praktek kefarmasian di sarana pelayanan kefarmasian.

Definisi praktik kefarmasian

Berdasarkan tulisan yang diterima redaksi (4/11/2020), definisi praktik kefarmasian pada awalnya tertuang dalam pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun karena adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010, definisi Praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.

Apoteker dan TTK

Berdasarkan pada UU 36/2014 tentang tenaga kesehatan pasal 11 ayat 6, Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan TTK.

Merujuk pada PP 51/2009 yg disesuaikan dg UU 36/2014 dan UU 12/2012 tentang pendidikan tinggi, maka apoteker dapat didefinisikan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi apoteker, lulus Uji Kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) dengan memperoleh Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker serta memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA) dengan kewenangan melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.

Sedangkan TTK adalah tenaga kesehatan yang membantu apoteker dalam melaksanakan praktik kefarmasian dengan latarbelakang pendidikan vokasi ilmu kefarmasian minimal D3 yang lulus Uji Kompetensi dan memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi serta memiliki surat tanda registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK).

Kontroversi Permenkes 26/2020

Fasilitas Pelayanan Kefarmasian (FASYANFAR) adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, atau praktek bersama (PP 51/2009 yg disesuaikan dengan PP 47/2016).

Permenkes 26/2020 baru-baru ini menuai kontroversi terutama dikalangan apoteker sebagai pemilik kewenagan profesional melakukan praktik kefarmasian terutama di puskesmas sebagai salah satu FASYANFAR. Pasal 6 ayat 4 adalah salah satu yang dinilai sebagai pasal yang “bermasalah” . Pada pasal 6 ayat 4 pmk 26/2020 tersebut menyebutkan bahwa dalam hal Puskesmas belum memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab, maka:

  1. Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di puskesmas tersebut dilakukan secara terbatas oleh TTK.
  2. Pelaksanaan pelayanan kefarmasian secara terbatas di puskesmas oleh TTK di bawah pembinaan dan pengawasan seorang apoteker.
  3. apoteker yang melakukan pembinaan dan pengawasan kepada TTK yang melaksanakan pelayanan kefarmasian secara terbatas di puskesmas ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Baca :  PMK No.31 Tahun 2016 Merekayasa Komitmen Apoteker dalam Sosial Kefarmasian

Jika merujuk pada UU 36/2014 pasal 65 ayat 2 & 3; UU 36/2009 pasal 108 ayat 1 jo Kep MK No.12/PUU-VIII/2010 dan PP 51 pasal 1 ayat 6, dapat ditarik kesimpulan bahwa TTK pada prinsipnya TIDAK BERWENANG melakukan praktik kefarmasian sebelum mendapatkan limpahan kewenangan dari seorang apoteker. Sekilas, poin dalam kesimpulan ini memang dijadikan rujukan atau dasar penyusunan pasal 6 ayat 4 Permenkes 26/2020 diatas.

Pada point c) dalam Permenkes 26/2020 pasal 6 ayat 4 seperti diutarakan diatas, pada pasal 6 ayat 4 Permenkes 26/2020 tersebut menyebutkan bahwa apoteker yang melakukan pembinaan dan pengawasan kepada TTK yang melaksanakan pelayanan kefarmasian secara terbatas di puskesmas ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Apakah semua apoteker dapat mendelegasikan kewenangan profesionalnya kepada TTK?

“Apakah seperti ini sebenarnya regulasi mengatur pelimpahan kewenangan profesional seorang apoteker kepada TTK ??? Apakah semua apoteker dapat mendelegasikan kewenangan profesionalnya kepada TTK ?? atau apakah semua TTK dapat menerima limpahan kewenangan profesional dari seorang apoteker??” tulis Sudarsono yang juga Ketua Pengurus Daerah HISFARSI Kepulauan Bangka Belitung.

Jika merujuk perundangan yang berlaku saat ini tentu TIDAK semua apoteker dapat melimpahkan kewenangan profesionalnya kpd TTK, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan UU 36/2014 pasal 46 & 86, Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik dibidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dalam bentuk surat izin praktik (SIP), dan Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin akan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Surat Izin Praktik (SIP) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik. u/ apoteker disebut dengan SIPA dan pada TTK disebut SIPTTK (UU 36/2014 psl 1 ayat 11 & PP 51/2009).

Dalam SIPA atau SIPTTK tercantum beberapa informasi penting, diantaranya adalah nomor STRA/STRTTK dan nama/alamat FASYANFAR tempat tenaga kefarmasian tersebut berpraktek kefarmasian. Hal ini mengindikasikan bahwa apoteker & TTK, hanya diperkenankan melaksanakan praktek kefarmasian dalam lingkup FASYANFAR sebagaimana yang tertulis dalam SIPA/SIPTTK.

Merujuk dari beberapa peraturanperundangan yangg dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:

  1. Tenaga kefarmasian yang dapat melakukan pelimpahan/penerima kewenangan profesional hanya tenaga kefarmasian yang sudah mengantongi SIP baik SIPA atau SIPTTK.
  2. Proses pelimpahan kewenagan praktek kefarmasian dari apoteker ke TTK atau sebaliknya hanya dapat dilakukan jika kedua tenaga kefarmasian tersebut berpraktek di FASYANFAR yang sama dan dibuktikan dengan SIP.

“Dari penelusuran regulasi yang saya ketahui, saya belum menemukan regulasi termasuk peraturan yang dikeluarkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) yang mengatur secara teknis proses serah-terima pelimpahan kewenangan praktek kefarmasian dari apoteker ke TTK.” Jelas Sudarsono.

Menurutnya proses adminitrasi serah-terima pelimpahan kewenagan dari apoteker ke TTK harus terdokumentasi dengan baik agar dapat dijadikan bukti hukum jika dikemudian terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari serah-terima pelimpahan kewenangan ini.

Kewenangan apoteker dalam menjalankan praktek profesinya

Beberapa data penting yang harus tercantum dalam dokumen adminitrasi serah-terima pelimpahan kewenangan antara apoteker ke TTK ,yaitu:

  1. Identitas profesional tenaga kefarmasian yg melakukan serah-terima pelimpahan kewenangan, diantaranya minimal adalah Nama tenaga kefarmasian, profesi/pekerjaan, nomorSIPA/SIPTTK dan alamat FASYANFAR tempat praktek tenaga kefarmasian yang akan melakukan serah-terima pelimpahan kewenangan.
  2. Jenis kegiatan/pekerjaan yang merupakan bagian dari kewenagan professional seorang apoteker yang akan dilimpahkan ke TTK.
  3. Dapat ditambahkan batasan waktu pelimpahan kewenangan tsb.
  4. Tandatangan tenaga kefarmasian selaku pihak yang melimpahkan kewenangan (apoteker) dan tanda tangan TTK sebagai pihak yang menerima pelimpahan kewenangan dari apoteker.
Baca :  Siap Rangkul Semua Elemen, FIB Harap Apoteker Maju Bersama

Merujuk pada definisi praktek kefarmasian  dalam UU 36/2009 pasal 108 ayat 1 jo Kep.MK No.12/PUU-VIII/2010, maka sesunggunhnya kewenangan apoteker dalam menjalankan praktek profesinya secara garis besar, yang terdiri atas:

  1. Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi
  2. Pengamanan sediaan farmasi,
  3. Pengadaan sediaan farmasi,
  4. Penyimpanan dan pendistribusian obat,
  5. Pelayanan obat atas resep dokter,
  6. Pelayanan informasi obat
  7. Pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Ketujuh butir kewenangan profesional apoteker ini harus dijabarkan lagi menjadi kegiatan/pekerjaan dalam teknis pelaksanaanya oleh PP IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) sebagai acuan utama bagi seluruh apoteker dlm menjalankan praktek profesinya.

Berikut adalah contoh dari butir-butir kegiatan teknis pelaksanaan kewenangan praktek kefarmasian oleh apoteker di sarana kefarmasian :

Melihat begitu beragamnya Jenis kegiatan/pekerjaan yang merupakan bagian dari kewenagan professional seorang apoteker dalam praktek kefarmasian, maka pada saat melimpahkan kewenangannya kepada TTK seharusnya item Jenis kegiatan/pekerjaan yang akan dilimpahkan kewenangannya diserahkan sepenuhnya kepada apoteker praktek yang akan melakukan serah-terima pelimpahan kewenangan karena merekalah yang sangat memahami kondisi pelaksanaan praktek kefarmasian di FASYANFAR tempat apoteker tersebut berpraktek.

Tidak elok jika untuk kegiatan yang akan dilimpahkan oleh seorang apoteker, justru di tetapkan oleh “orang lain” walau disamarkan dengan penerbitan sebuah regulasi, karena sebagai seorang profesional, seorang apoteker diberikan hak penuh dan berdaulat oleh negara untuk menjalankan kewenangan profesionalnya secara mandiri berdasarkan peraturanperundangan yang berlaku.

“Sekian dulu pembahasan dari saya tentang bagaimana hubungan profesional antara seorang apoteker & TTK, serta kaitannya dengan serah-terima pelimpahan kewenangan. Mohon maaf jika dlm tulisan ini ada kata-kata yang kurang berkenan. Saya adalah manusia biasa penuh dengan keterbatasan yang tidak lepas  dari kesalahan.” tutupnya.

Daftar Pustaka

  • Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009, tentang Kesehatan.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12/PUU-VIII/2010 dalam perkara permohonan Pengujian Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009, tentang Kesehatan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Undang-Undang RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
  • Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2014, tentang Tenaga Kesehatan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
  • Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan
  • Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefamasian di Apotek
  • Peraturan Menteri Kesehatan No. 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefamasian di Rumah Sakit
  • Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefamasian di Puskesmas
  • Peraturan Menteri Kesehatan No. 26 tahun 2020 tentang perubahan Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefamasian di Puskesmas
Share this:

About Apoteker Sudarsono

Apoteker Klinis di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung,

Check Also

Menjaga Konsistensi Hierarki dan Muatan Materi Dalam Transformasi Undang – Undang Kesehatan

Majalah Farmasetika – Undang-Undang Kesehatan pertama kali lahir pada tahun 1992, dengan mencabut dua undang-undang …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.